Dalam pertemuan selama 90 menit itu, Senin (23/6), Kerry mendesak PM Maliki untuk berbagi kekuasaan di dalam negeri dengan lawan-lawan politiknya, terutama dari kalangan Sunni. Selama berada di Baghdad, Kerry juga mengadakan pertemuan dengan tokoh Syiah dan Sunni Irak. PM Maliki yang datang dari kalangan mayoritas, Syiah, dinilai bertanggung jawab atas terjadinya kekacauan di Irak sekarang ini.
Pemerintahan PM Maliki didominasi kaum Syiah, sedangkan kaum Sunni dan Kurdi terpinggirkan. Sikap PM Maliki yang menganakemaskan kaum Syiah itu membuatnya menjadi sasaran tembak. Selain mendapatkan tentangan dari kaum Sunni di dalam negeri, ia juga mendapatkan tentangan dari kaum Sunni di luar negeri.
Bukan itu saja, milisi koalisi Sunni, yang dimotori kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), mengancam akan menyerbu ibu kota Irak, Baghdad. Dan, saat ini, milisi telah menguasai hampir semua wilayah perbatasan di bagian barat Irak. Pos perbatasan di Al-Waleed, Turaibil, dan kota Tal Afar serta bandar udaranya telah dikuasai milisi koalisi Sunni.
Kerry tidak melihat ada cara lain untuk mengembalikan perdamaian di Irak kecuali PM Maliki membentuk pemerintahan inklusif yang melibatkan Syiah, Sunni, dan Kurdi sesegera mungkin. Ia mengatakan, serangan NIIS dapat mengancam eksistensi Irak. Hari-hari dan minggu-minggu mendatang merupakan masa-masa yang kritis bagi Irak.
Apa yang dikatakan Kerry itu sangat beralasan karena masa depan Irak sebagai negara dipertaruhkan oleh PM Maliki. Jika PM Maliki tetap meminggirkan kaum Sunni dan Kurdi, dikhawatirkan akan pecah perang saudara yang berkepanjangan di Irak.
Pada masa lalu, Irak yang mayoritas penduduknya kaum Syiah berada di bawah pemerintahan minoritas Sunni yang dipimpin Presiden Saddam Hussein (1979-2003). Selama 24 tahun, Saddam bisa menjaga stabilitas keamanan di Irak. Bahkan, Saddam memimpin Irak berperang dengan Iran yang mayoritas penduduknya dari kalangan Syiah (1980-1988). Adalah AS yang meruntuhkan pilar-pilar yang dibangun Saddam untuk menjaga stabilitas keamanan di Irak dengan melancarkan Perang Teluk yang kedua pada 2003.
Ketika pasukan AS meninggalkan Irak pada 2011, persaingan antara kalangan Syiah dan Sunni menajam. Saat Maliki terpilih menjadi PM Irak, dan membentuk pemerintahan yang didominasi Syiah, persoalan muncul. Dikhawatirkan perang saudara muncul, bahkan eksistensi Irak terancam, jika milisi koalisi Sunni pada suatu titik berhadapan dengan kalangan Syiah yang didukung Iran.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007452123
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar