Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 05 Agustus 2014

ANALISIS POLITIK Para Mosesin (Sukardi Rinakit)

MINGGU (3/8), saya menghadiri halalbihalal yang diadakan teman-teman pekerja seni dan kreatif. Mereka adalah para relawan yang berada di belakang Konser Salam Dua Jari di Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (5/7), yang oleh para analis disebut sebagai moment opname yang mengubah preferensi kelas menengah perkotaan untuk memilih Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Tidak mengherankan apabila Joko Widodo dengan tulus mengucapkan terima kasih atas dukungan dan semangat kesukarelaan teman-teman itu. Abdee Slank sebagai motor penggerak didukung tim kerja yang solid dan ikhlas telah menyatukan hati ratusan nama beken yang akrab di ranah seni dan kreatif. Mereka bukan hanya bandwagon, melainkan juga cahaya moral yang menggeret suara kelas menengah perkotaan ke pasangan Jokowi-JK.

Ketika sedang asyik mengamati polah para relawan yang sedang berfoto dengan Jokowi, masuk pesan singkat dari seorang teman akademisi di Singapura. Dia memberondong pertanyaan. Menurut evaluasi Anda, apa faktor yang menentukan kemenangan Jokowi-JK? Apakah masyarakat resah sehubungan dengan gugatan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ke Mahkamah Konstitusi? Bagaimana nasib koalisi permanen nantinya?

Menurut penulis, kemenangan Jokowi-JK sesuai dengan ketetapan Komisi Pemilihan Umum (22 Juli) ditentukan oleh, meminjam istilah Daoed Joesoef, para Mosesin. Mereka adalah para relawan, yang ibarat Moses (Nabi Musa) mengantarkan penerusnya ke tanah terjanji. Dia sendiri tidak memasuki wilayah itu untuk menjadi pemimpin. Tugas sejarah para Mosesin adalah mengantar pemimpin yang baik demi memandu bangsanya.

Selain para pekerja seni dan kreatif, para Mosesin pendukung Jokowi-JK tersebut juga ditunjukkan oleh ratusan jejaring sosial yang bergerak di struktur basis. Mereka tak ubahnya sebuah mesin politik yang bergerak dinamis tapi nir-oligarki. Ada Sekretariat Nasional (Seknas), Sahabat Jokowi, Kawan Jokowi, Pro Jokowi (Projo), Putih Jokowi, dan lain-lain. Juga ada individu dan tim pengawal setelah pencoblosan 9 Juli 2014, seperti tim Kawal Pemilu.

Gerak para relawan tersebut meniti rajutan tipping point yang secara naluriah sudah dibangun oleh Jokowi. Tindakan spontan Jokowi yang membagikan kaus di titik-titik strategis dengan laju mobil perlahan atau bahkan berhenti menunjukkan ketajaman insting politiknya. Tanpa dia sadari, tindakan itu menyebar seperti virus dan menjadi dongeng (Malcolm Gladwell, 2000).

Orang yang menerima kaus tersebut memproduksi narasi bahwa dia menerima kaus itu "langsung dari tangan Jokowi". Klaim "langsung dari tangan Jokowi" itu menjadikan orang tersebut mempunyai daya ledak setara dengan delapan bom neutron. Laiknya virus, mereka bergerak dan menebar ke mana-mana. Inilah katup pengaman Jokowi-JK yang kurang diperhitungkan oleh lawan politik. Katup ini menyelamatkan Jokowi-JK dari manuver politik yang berusaha menenggelamkannya.

Kerja para Mosesin yang dilandasi ketulusan dan kerelawanan ketika kontestasi pilpres berakhir adalah kembali ke "habitatnya". Mereka kembali ke ranah kehidupannya dan berkarya seperti semula. Dalam konteks ini, mereka kembali menjadi perekat di tengah masyarakat yang sebelumnya terbelah karena preferensi politik. Pendeknya, aroma kontestasi politik mengempis dan kehidupan di akar rumput kembali guyub, apalagi disongsong oleh kebahagiaan Idul Fitri.

Fenomena tersebut mempercepat bekerjanya mekanisme melodramatik bangsa Indonesia yang salah satu cirinya adalah mudah lupa. Kontestasi politik yang panas dan membelah sudah dilupakan. Masyarakat kembali ke rutinitas kehidupan seperti sebelum bulan politik hadir.

Oleh karena itu, kekhawatiran sementara pihak bahwa kekecewaan politik akan memicu kerusuhan sosial tidak mendapatkan pijakan argumentasi apa pun. Sejauh ini tidak terbangun sinergi segitiga kekuatan (mahasiswa-militer-pengusaha). Tanpa kerja sama tiga kelompok strategis itu, keresahan sosial sulit terjadi. Dengan bahasa lain, masyarakat tidak terpengaruh, apalagi resah oleh drama politik elite yang sekarang ini sedang berlangsung, seperti gugatan tim Prabowo-Hatta di Mahkamah Konstitusi.

Sebaliknya, apabila langkah politik tersebut tidak terukur, sentimen publik kepada mereka, terutama pada aktor utama, yaitu Prabowo-Hatta, justru akan negatif. Inilah batasan imajiner dari karakter melodramatik bangsa ini yang tecermin dalam ungkapan ngono yo ngono ning ojo ngono (meskipun begitu, jangan begitu). Semakin kita agresif, semakin ditinggalkan publik.

Hal sama akan berlaku di parlemen. Dalam pendekatan budaya politik, jika koalisi permanen dari sejumlah besar partai dibawa ke parlemen, secara prediktif akan melahirkan sentimen negatif dari masyarakat. Ini terkait budaya politik kita yang berpusat pada figur, bukan pada parpol.

Jumlah koalisi besar partai-partai politik apabila miskin tokoh akan dipersepsi publik tak lebih sebagai gerombolan politik. Ini akan mementahkan komitmen koalisi permanen di antara mereka. Terlebih lagi, cita-cita para politisi tersebut tak lebih dari sekadar menjadi priayi (pejabat) dan bukan pengibar bendera oposisi.

Itulah bedanya mereka dengan para Mosesin yang bekerja dengan hati.

Sukardi Rinakit 
Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate dan Pendiri Kaliaren Foundation

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008172786
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger