Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 02 September 2014

Jokowi dan Standar HAM (Hendardi)

JOKO Widodo dan Jusuf Kalla telah mendapat legitimasi politik yang langsung diperoleh dari rakyat melalui Pemilu Presiden 9 Juli lalu.
Komisi Pemilihan Umum menetapkan mereka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih pada 22 Juli. Setelah melalui proses hukum, Mahkamah Konstitusi pun menguatkan legitimasi mereka dengan menolak gugatan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa pada 21 Agustus 2014.

Joko Widodo (Jokowi) telah berjanji hendak menghadirkan negara untuk melindungi warga dan pembangunan serta menjalankan beberapa program prioritas dan unggulan. Pandangan dan program yang bakal dijalankan pemerintahan yang dipimpinnya dapat dirujuk dengan pendekatan dan standar hak asasi manusia (HAM) agar lebih mudah mengukur hasil-hasil yang dicapai.

Hak-hak sipil dan politik
Berbeda dengan pandangan Jokowi yang hendak menghadirkan negara, pendekatan HAM dalam rumpun hak-hak sipil dan politik justru mengandung batasan antara negara tidak perlu hadir dan diperlukan kehadirannya. Sedapat mungkin kekuasaan negara tidak hadir (absent) dalam menunaikan kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) hak-hak setiap orang yang menikmati hak-haknya. Negara harus hadir ketika menunaikan kewajiban untuk melindungi (obligation to protect) HAM dalam mencegah dan menangani pelanggaran (violation).

Kapan negara tidak hadir atau menahan diri? Hak-hak sipil dan politik banyak mengandung elemen kebebasan (freedom), seperti kebebasan berpendapat, berkumpul, berserikat, bergerak, dan kebebasan pribadi (privacy).

Hak atas kebebasan yang dinikmati setiap orang itu wajib dihormati oleh negara dengan cara tidak hadir atau menahan diri untuk mencampurinya. Kehadiran atau campur tangan negara dapat menimbulkan pelanggaran atas kebebasan tersebut, seperti mengganggu, membatasi, atau mengekangnya.

Hak-hak sipil dan politik juga mengandung watak hak pada dirinya (right in itself) dan hak untuk dirinya (right for itself). Hak pada dirinya di antaranya adalah kebebasan berpikir dan berkeyakinan, hak untuk hidup, dan hak untuk tidak disiksa yang tidak boleh diganggu gugat, baik dalam keadaan darurat maupun perang, apalagi dalam keadaan damai.

Hak untuk dirinya adalah kebebasan yang berhubungan dengan orang lain, seperti kebebasan berpendapat atau berkumpul. Kebebasan bukanlah kejahatan. Yang harus dicegah atau diberantas aparat negara (penegak hukum) adalah kejahatan, bukan kebebasan. Hak atas kebebasan ini wajib dilindungi aparat negara—meminjam istilah Jokowi, negara hadir—ketika mendapat ancaman dari pihak ketiga atau orang yang intoleran.

Jika pihak ketiga itu melakukan kejahatan terhadap orang yang menikmati kebebasan (korban), penegak hukum wajib memproses pihak ketiga tersebut sesuai hukum di mana hak-haknya sebagai tersangka wajib pula dihormati dan dilindungi. Proses hukum inilah yang memungkinkan korban kejahatan mendapatkan keadilan.

Hak ekosob
Sementara dalam rumpun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob), negara bukan saja berkewajiban melindungi, melainkan juga memenuhi (obligation of fulfil) hak-hak setiap orang. Kehadiran negara tak terhindarkan agar sumber daya material dapat dibagi secara lebih merata kepada semua orang.

Banyak sumber kekayaan material dikuasai oleh segelintir orang, sementara banyak orang hanya mendapatkan tetesannya, bahkan ada yang tidak sama sekali. Ketimpangan sosial-ekonomi adalah kenyataan umum di seluruh dunia. Suatu gambaran mengenai hal ini ditunjukkan dengan bercokolnya mafia migas (minyak dan gas), mafia daging, dan mafia TKI yang dapat menyumbat atau menghambat pemenuhan hak atas pekerjaan, penghasilan, dan pangan. 

Langkah-langkah, kebijakan, dan program pemerintah harus memastikan lebih banyak orang mendapatkan pekerjaan, penghasilan atau upah yang layak, juga mendapatkan pangan yang cukup, dengan cara membasmi para mafia yang rakus demi menumpuk kekayaan melalui kolusi. Selanjutnya pemerintah memperbaiki kebijakan dan memastikan program sosial-ekonominya berjalan efektif.

Begitu juga—tanpa bantuan yang lebih kuat dari negara—banyak orang kehilangan kesempatan untuk memenuhi hak atas pendidikan dan kesehatan. Prioritas program Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar dapat menghadirkan negara secara terencana serta terprogram agar lebih banyak anak mengecap pendidikan dan setiap orang mendapatkan layanan kesehatan tanpa diskriminasi.

Pemenuhan hak ekosob bukan saja menekankan pentingnya perencanaan pemerintah, melainkan juga dikenal sifatnya yang progresif (progressive realization), bergerak maju. Pemerintah harus merencanakan secara bertahap, menyiapkan anggaran, memantau realisasinya, dan meningkatkan pemenuhannya.

Standar HAM
Langkah, kebijakan, dan program pemerintah yang dirancang dan direalisasikan dengan pendekatan serta standar HAM lebih memudahkannya mengukur hasil-hasilnya, bahkan kemajuan secara institusional. Pertanggungjawaban negara (state accountability) terkait perilakunya terhadap setiap orang tidak hanya disampaikan secara berkala kepada komunitas internasional di bawah naungan PBB, tetapi juga yang lebih penting kepada rakyatnya.

Dalam rumpun hak-hak sipil dan politik, kita dapat mengukurnya dengan jumlah pelanggaran hak atas kebebasan yang berkurang ataupun meningkatnya penikmatan kebebasan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, mencatat jumlah pencegahan atau pengusutan tindak pidana terhadap orang-orang intoleran atau pihak ketiga. Atau berkurangnya penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang oleh penegak hukum.

Sebab, umumnya pelanggaran diawali dengan perilaku aparat pemerintah yang sewenang-wenang dan mengabaikan untuk menindaklanjuti atau melayani pengaduan orang yang menjadi korban intoleransi atau tindak pidana. Berkurangnya perilaku sewenang-wenang dan menguatnya sikap melayani pengaduan adalah kondisi yang diperlukan bagi pengecapan hak-hak sipil dan politik.

Standar HAM juga memudahkan pemerintah mengukur keberhasilannya dalam memenuhi hak ekosob. Misalnya, target membuka lapangan kerja untuk satu juta orang per tahun, dapat dihitung berapa capaiannya dan di sektor mana saja. Kemudian mengukur tingkat upah buruh untuk dikaitkan dengan upah yang layak.

Begitu juga dengan program pendidikan dan kesehatan. Berapa banyak sekolah yang dibangun, berapa murid yang diserap secara gratis, dan berapa guru yang dipekerjakan. Standar yang sama dapat juga mengukur berapa banyak puskesmas yang dibangun di daerah terpencil, berapa tenaga kesehatan yang diserap, dan berapa orang yang telah dilayani.

Program lainnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak ekosob dapat dirancang dengan indikator hasil yang mirip. Dengan menggunakan pendekatan dan standar HAM, pemerintah juga dapat menguatkan sejumlah institusi yang menunaikan kewajibannya agar lebih melayani dan bertanggung jawab.

Hendardi
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008642701
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger