Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 06 September 2014

TAJUK RENCANA: Membajak Demokrasi (Kompas)

GAGASAN beberapa fraksi DPR mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah langsung menjadi pemilihan oleh DPRD menuai reaksi keras.
Manuver politik sejumlah fraksi DPR itu mengemuka dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang sedang dibahas DPR. Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi Golkar, Fraksi PPP, dan Fraksi Gerindra mendukung pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dilakukan oleh DPRD. Adapun Fraksi PDI-P, Fraksi Hanura, Fraksi PKS, dan pemerintah tetap setia dalam jalur demokrasi yang menghendaki pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati tetap dipilih secara langsung oleh rakyat. Fraksi PKB mengusulkan varian lain, yakni gubernur dipilih langsung, sedangkan bupati dan wali kota dipilih DPRD.

Pada tahun 2015 akan digelar 202 pilkada dengan rincian 9 pemilihan gubernur, 26 pemilihan wali kota, dan 167 pemilihan bupati. Untuk memberikan dasar hukum pilkada 2015, dibutuhkan UU Pilkada.

Kita sependapat dengan sejumlah tokoh bahwa keinginan mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah ke DPRD merupakan langkah mundur. Manuver politik beberapa fraksi yang lebih didasari ambisi kekuasaan semata merupakan pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Gerakan reformasi 1998 telah mengembalikan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat. Melalui gerakan reformasi 1998, rakyat telah bisa menikmati hak politik mereka untuk memilih pemimpin yang mereka kehendaki. Itulah kemewahan politik rakyat yang didapat dari gerakan reformasi. Mengambil hak politik rakyat sama saja dengan membajak demokrasi.

Kita tidak menutup mata bahwa sistem pilkada langsung menimbulkan biaya politik mahal dan maraknya politik uang. Namun, jawaban atas masalah itu bukanlah dengan mengembalikan sistem pilkada kepada DPRD. Pemilu serentak dan pembatasan biaya kampanye akan bisa mengurangi ongkos politik dalam pilkada.

Anggota DPR yang tengah membahas RUU Pilkada harus introspeksi melihat dirinya sendiri. Sudahkah mereka bersih? Fakta menunjukkan, politik uang terjadi dalam seleksi pejabat publik, termasuk juga tentunya pemilihan kepala daerah. Data KPK menunjukkan, 75 anggota DPR/DPRD terjerat kasus korupsi.

Alasan sejumlah fraksi DPR bahwa dengan mengembalikan pilkada ke DPRD untuk menghindari politik uang kehilangan dasar pijakannya. Keinginan sejumlah fraksi itu juga merupakan tanda akan terjadinya gelombang balik demokrasi.

Sebagai wakil rakyat, seyogianya DPR mendengar suara rakyat yang haknya akan diambil alih. Jajak pendapat terakhir Litbang Kompas menunjukkan, 87,6 persen menghendaki tetap digunakannya sistem pemilihan langsung. Kita berharap anggota DPR tidak membajak demokrasi rakyat dengan mengalihkan hak memilih rakyat ke DPRD. Rujuklah teks konstitusi!

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008718769
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger