Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 29 Oktober 2014

Program 100 Hari Bidang Luar Negeri (Hikmahanto Juwana)

JOKO WIDODO dan M Jusuf Kalla telah resmi menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI sejak 20 Oktober 2014. JKW-JK akan dipantau publik terkait dengan janji-janji kampanyenya.
Sebagai contoh, dalam mewujudkan janji kampanye, publik akan melihat 100 hari kinerja pemerintahan Jokowi. Salah satunya di bidang luar negeri.

Kedaulatan
Salah satu janji bidang luar negeri pemerintahan Jokowi adalah menjaga kedaulatan dan kepentingan nasional. Dalam konteks ini, kebijakan luar negeri pemerintahan Jokowi akan berbeda dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berupa thousand friends, zero enemy (teman seribu, musuh nol). Pemerintahan Jokowi yang akan menekankan masalah bilateral harus meninggalkan kebijakan luar negeri pemerintahan SBY. Pemerintah akan keras serta tegas jika kedaulatan dan kepentingan nasional direndahkan serta diganggu negara lain.

Untuk menunjukkan kebijakan ini, dalam 100 hari pemerintahan Jokowi, dapat dilakukan sejumlah hal. Pertama, pemerintah harus tegas apabila di wilayah perbatasan ada gangguan dari negara lain.

Beberapa hari sebelum pengambilan sumpah JKW-JK, Malaysia membongkar mercusuar yang dibangun di perairan dekat Tanjung Datu. Hal ini tidak terjadi ketika SBY menjadi presiden meski telah dilakukan survei bersama di antara dua negara dan terbukti mercusuar berada di landas kontinen Indonesia.

Masih dalam isu perbatasan, apabila pada masa 100 hari pemerintahan Jokowi, Pemerintah Australia secara unilateral dan tidak sah mengembalikan para pencari suaka melalui laut, pemerintah harus tegas.

Kita tidak ingin terulang kebijakan unilateral Australia didiamkan dan dimengerti. Contohnya, insiden pada Desember 2013, ketika menurut Australia kapal perang mereka secara tidak sengaja memasuki wilayah laut teritorial Indonesia, itu tak boleh terulang. Kapal tersebut masuk wilayah laut teritorial Indonesia karena ingin memastikan kapal yang digunakan pencari suaka kembali ke Indonesia.

Juga kejadian tahun ini, dua kali insiden sebuah kapal berwarna oranye tanpa tanda kebangsaan, diduga dari Australia, berisi para pencari suaka terdampar di wilayah Indonesia. Pemerintah tidak melakukan apa pun. Kebijakan Pemerintah Australia yang bersifat unilateral dan melanggar kedaulatan Indonesia harus direspons secara tegas oleh pemerintahan Jokowi.

Perjanjian internasional
Kebijakan luar negeri lain yang dapat dijadikan contoh selama 100 hari adalah meminta Singapura untuk memisahkan perjanjian ekstradisi dengan perjanjian kerja sama pertahanan (defence cooperation agreement/DCA). Kedua perjanjian ini telah ditandatangani Presiden SBY dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong pada 2007.

Singapura mengajukan syarat atas kesediaan menandatangani perjanjian ekstradisi agar DCA diratifikasi secara paket. Padahal, bagi Indonesia, banyak kerugian yang ditimbulkan dari DCA yang dinegosiasikan dalam keadaan terburu-buru. Pemerintahan Jokowi harus dapat meyakinkan Pemerintah Singapura untuk menghilangkan syarat bagi ratifikasi perjanjian ekstradisi. Kemudian, untuk perjanjian DCA, perlu dinegosiasikan kembali.

Ada tiga argumentasi mengapa perjanjian ekstradisi penting bagi Singapura tanpa DCA. Pertama, sebagai sesama negara anggota ASEAN, Singapura harus menunjukkan solidaritasnya. Indonesia yang sedang giat memberantas korupsi dan kejahatan kerah putih di Indonesia harus mendapat bantuan dari Singapura. Para koruptor dan pelaku kejahatan kerah putih kerap melarikan diri ke Singapura.

Argumentasi kedua, Pemerintah Jokowi ingin membantu memperbaiki persepsi publik Indonesia terhadap Singapura. Persepsi yang ada dalam publik Indonesia adalah Singapura sebagai surga bagi para koruptor dan pelaku kejahatan kerah putih asal Indonesia. Argumentasi ketiga, Pemerintah Jokowi akan segera merenegosiasi DCA apabila perjanjian ekstradisi telah diratifikasi kedua negara. Dengan demikian, Singapura akan mendapat tempat untuk melakukan latihan militer tanpa merongrong kedaulatan Indonesia.

Di samping itu, pemerintahan Jokowi harus mulai menegosiasikan pengembalian pengelolaan flight information region (FIR) yang berada di atas Kepulauan Riau oleh Singapura.

Meski demikian, perlu dipahami, masalah FIR bukan hanya masalah bilateral kedua negara mengingat ada keterlibatan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Pemerintahan Jokowi harus dapat meyakinkan Singapura dan dunia internasional soal kesiapan Indonesia, dengan menggunakan standar Singapura, dalam mengoperasikan FIR di atas Kepulauan Riau.

Pemerintahan Jokowi juga harus memulai negosiasi perjanjian bilateral dengan negara-negara yang menjadi tujuan para tenaga kerja Indonesia (TKI). Perjanjian ini merupakan syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Dalam rangka perlindungan terhadap TKI, pemerintahan Jokowi perlu membangun sistem pendeteksian dini TKI yang mengalami masalah hukum. Perwakilan Indonesia di negara tujuan TKI harus dapat responsif dan efektif dalam menjalankan fungsi ini. Ukuran keberhasilan, mereka tidak boleh kalah cepat daripada lembaga swadaya masyarakat yang aktif mengadvokasi perlindungan bagi TKI.

Pemasar
Kebijakan lain yang perlu dilakukan dalam kurun waktu 100 hari pertama untuk mewujudkan ide Presiden Jokowi agar perwakilan Indonesia di luar negeri menjadi agen pemasar (marketing agent) adalah semua perwakilan Indonesia di luar negeri harus membuat profil peluang pasar bagi pelaku usaha asal Indonesia, termasuk BUMN.

Paling tidak, ada tiga hal utama yang harus masuk dalam laporan profil tersebut. Pertama, mengidentifikasi potensi produk dan jasa yang terbuka bagi pelaku usaha Indonesia. Kedua, mengevaluasi hal-hal yang menjadi halangan dan rintangan bagi pelaku usaha dalam memasarkan produknya. Ini termasuk evaluasi terhadap iklim investasi dan peraturan perundang-undangan di negara setempat.

Ketiga, para kepala perwakilan diminta memberikan evaluasi terhadap hal-hal yang jadi kelemahan para diplomat untuk dapat memasarkan produk dan jasa asal Indonesia secara efektif.

Yang disampaikan di atas intinya adalah urusan luar negeri dalam masa 100 hari pemerintahan Jokowi lebih ditekankan pada hubungan bilateral. Ini mengingat, dalam hubungan bilateral, masyarakat dapat langsung merasakan manfaat urusan luar negeri Indonesia.

Sementara hubungan regional dan multilateral, meski tidak kalah penting, kurang dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat.

(Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009750704
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger