Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 24 November 2014

Ke Arah Politik Makna (M Alfan Alfian)

APA yang dapat kita petik dari perkembangan politik kita sekarang?
Banyak hal. Di ranah elite ada konflik berlanjut konsensus yang berdampak pada rakyat. Dari perspektif pembangunan politik, semakin terasa stabilitas politik ada di ranah elite.

Pengakhiran konflik di DPR terasa elitis karena memang wilayah mereka. Rakyat lazim berharap elitenya bijak menyelesaikan konfliknya dengan baik dan bisa lebih produktif.

Di ranah nonelite, reaksi antielite dan antipartai sering menggejolak kendati selama ini lebih sebatas kekecewaan verbal. Orang sekadar tak suka perilaku elite dan partai, tetapi tidak tampak bergerak konkret. Ranah civil society kita bahkan belum mampu mendorong tumbuhnya partai-partai politik yang kuat dalam kerangka konsolidasi demokrasi justru karena merasa itu urusan masyarakat politik semata.

Sementara partai-partai yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi tidak juga tampak berikhtiar memperkuat kelembagaannya. Partai masih kental oligarkinya. Para elite menjadikan lembaganya sebagai kartel politik yang lazim berkait dengan urusan bisnis.

Demokrasi sering berada pada simpang paradoks perilaku elitenya. Celakanya, masyarakat awam sering terjebak pada situasi yang membuat mereka pragmatis. Praktik demokrasi prosedural tak didukung sistem dan perilaku yang mencerminkannya. Di sisi substansi, kita merasakan implementasi demokrasi adalah perjuangan yang semakin tak berkesudahan. Secara prosedural, memang sudah ada banyak perubahan dalam praktik demokrasi kita. Bahkan Indonesia lazim dikategorikan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Tapi, apa makna semua itu?

Kepentingan bangsa
Sudah selayaknya politik Indonesia kita arahkan ke politik makna. Istilah politik makna saya ambil dari Cliford Geerzt, "the politics of meaning", dalam catatan penutup buku, Culture and Politics in Indonesia (1972). Geerzt mengajak kita untuk mampu menangkap makna dari ragam perjalanan politik Indonesia sejak 1945.

Dinamika politik boleh berlangsung secara tajam, tetapi harus ada tepinya. Konsensus dan konflik lazim dalam politik. Tetapi hendaknya meninggalkan makna. Makna yang dimaksud adalah catatan atau semacam kesimpulan obyektif yang hadir dari sejumlah peristiwa politik yang nyaris selalu melibatkan elite. Kalau demikian, makna bukan pembenaran atau dalih. Makna melibatkan aspek-aspek akademis dan filosofis. Tidak semua peristiwa politik dicatat punya makna yang sama dengan dalih para politisi yang terlibat atau terkait kepentingan dengan peristiwa-peristiwa politik. Makna selalu dikaitkan dengan konteks kepentingan bangsa, sementara pembenaran politik lebih ke konteks kelompok bersangkutan.

Politik makna, dengan demikian, mengandung kewajiban tanggung jawab semua pihak untuk mereproduksi aspek-aspek bagus pendidikan politik. Kesadaran akan tanggung jawab politik untuk kepentingan lebih besar atau kepentingan bangsa dan kemanusiaan yang lebih luas harus terus dikondisikan di tengah kabut asap pragmatisme politik yang menutupinya. Pada akhirnya politik lekat sekali dengan konteks kebudayaan dan lebih dari itu peradaban.

Berpolitik untuk pecah
Apabila kita lihat politik kita hingga dewasa ini, konteks konflik yang berujung perpecahan itulah yang menonjol. Kekuatan- kekuatan besar yang ada dalam sejarah politik kita tak luput dari perpecahan. Penyebabnya sering kali sekadar karena perbedaan kepentingan pragmatis antarelitenya. Pragmatisme cepat menenggelamkan ideal kepolitikan, padahal tidak ada imbangan pelembagaan politik yang memadai, sehingga berpolitik sepertinya sekadar untuk berpecah.

Tentu semua itu perlu menjadi bahan evaluasi bersama, betapa politik kita rentan keterpecahan (divergensi) ketimbang konvergensi politik. Tradisi koalisi juga belum mengakar benar di perpolitikan kita. Hakikat koalisi itu penyederhanaan dalam kompetisi politik. Stabilitas presidensial multipartai jelas terkait dengan hal demikian. Idealnya hanya ada dua koalisi besar di parlemen. Itu terjadi sekarang, di mana teoretis bermakna positif. Pasalnya, sepuluh kekuatan politik diringkas saja menjadi dua.

Logika politik parlemen tentu tidak mengabaikan aspek kompetisi. Pembagian kekuasaan, karena itu, menjadi hal yang lazim. Ketika ada konflik yang bertendensi sekadar pembagian jatah kekuasaan mengemuka, pemecahannya sesungguhnya lebih mudah ketimbang konflik ideologis. Selalu ada jalan keluar atas konflik politik pragmatis karena rumusnya sudah jelas pula: negosiasi ulang.

Kita berharap konflik dan konsensus dalam politik kita, di dalam atau luar parlemen, tetap meninggalkan makna. Politik kita harus ke arah politik makna, bukan politik hampa.

M Alfan Alfian Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010190179
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger