Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 25 November 2014

Menghadirkan Negara yang Bekerja (J Kristiadi)

Kata-kata bertuah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah kerja, kerja, dan kerja. Kedigdayaan mantra tersebut mulai dirasakan, misalnya pejabat publik mengenakan pakaian yang lebih praktis dan sederhana, seremoni dan protokol tidak eksesif. Selain itu, hampir semua menteri juga bekerja dengan pola yang lebih menyapa rakyat serta menerbitkan kebijakan yang bertujuan melakukan efisiensi anggaran negara dan sebagainya. Sementara itu, gebrakan kebijakan agar publik yakin negara hadir, terutama berkenaan dengan pengurangan subsidi bahan bakar minyak, pemerintah menerbitkan Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Keluarga Sejahtera, serta kebijakan lanjutan, seperti pendidikan keterampilan dan wirausaha.

Tekad pemerintah menepis politik pencitraan dan kesan sekadar menjaga stabilitas kenyamanan berkuasa adalah kebijakan mengurangi subsidi BBM. Sejak bertahun-tahun, kebijakan subsidi salah alamat tersebut dibiarkan dinikmati masyarakat berpenghasilan menengah atas. Pemerintah kini mengambil risiko mendapatkan perlawanan dari berbagai kelompok masyarakat, tetapi ternyata kepercayaan publik terhadap pemerintah masih terjaga (Kompas, 24/11).

Namun, tekad pemerintahan JKW-JK bekerja untuk rakyat tidak mudah karena dukungan di parlemen oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) hanya sekitar 43,93 persen, sementara Koalisi Merah Putih (KMP) 56,3 persen. Sebenarnya selisih suara dukungan bukan merupakan hambatan yang dapat memacetkan pemerintahan.

Sebaliknya, angka dukungan di parlemen tidak serta-merta membuktikan pemerintahan efektif. Kalau sekadar angka, pemerintah periode 2009-2014 didukung oleh parlemen hampir 75 persen, tetapi banyak kalangan menganggap negara tidak hadir karena lemahnya kinerja pemerintahan. Logika tersebut sebenarnya juga berlaku sebaliknya, meskipun dukungan parlemen terhadap pemerintahan JKW-JK tidak mencapai 50 persen, tidak harus menjadikan pemerintahan macet. Kualitas kepemimpinan dapat memberikan terobosan dalam mengatasi gridlock dalam pemerintahan presidensial, tetapi dukungan kekuatan di parlemen tidak cukup kuat untuk mendukung kebijakan pemerintah.

Fenomena yang terjadi di Indonesia dewasa ini mirip dengan pemerintahan Barack Obama. Dalam terminologi Steven Teles, Johns Hopkins University, yang diwawancarai oleh Washington Post, 26 Januari 2013, fenomena semacam itu disebut kludgeocracy, sistem pengelolaan kekuasaan yang rumit serta kompleks dan harus dikelola secara cerdik. Gejala tersebut menguat karena dalam pemilu sela, Partai Demokrat kalah telak di Kongres dari Partai Republik (The Economist, 8-14 November 2014).

Pemerintahan JKW-JK lima tahun mendatang juga dibayang-bayangi gejala kludgeocracy. Kinerjanya dikhawatirkan tidak maksimal karena pembilahan kekuatan di DPR masih dipengaruhi semangat pertarungan keras pada Pemilu Presiden 2014 yang menggelorakan isu kawan-lawan, menang-kalah, serta meminggirkan semangat kebersamaan. Meskipun tokoh-tokoh sentral di kedua kubu sudah bertemu, bahkan Ketua Umum Partai Golkar dalam sambutannya pada HUT Partai Golkar menyatakan dengan tegas bahwa keberhasilan pemerintahan JKW-JK juga keberhasilan Partai Golkar ("Your Success is Our Success", Detik.News, Selasa, 28/10/2014 21.11 WIB), perseteruan di parlemen belum sepenuhnya mereda.

Oleh karena itu, tampaknya posisi berhadapan tidak akan segera berakhir. Meskipun terjadi kesepakatan UU MD3 akan direvisi, apabila semangat "menang-kalah" tidak diubah menjadi semangat membangun kebersamaan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, harapan publik tetap tinggal harapan. Apalagi, dominasi kekuatan KMP tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga merambah di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Daya tawar tersebut kemungkinan tidak akan dilepas begitu saja, terlebih kalau semangatnya adalah return of investment (ROI), mengembalikan modal yang ditanam untuk investasi kekuasaan. Sudah dapat ditebak, menu pembuka yang akan disajikan oleh DPR mengawali pertarungan yang melelahkan di parlemen adalah interpelasi yang mulai digulirkan oleh Partai Golkar mengenai kebijakan pencabutan subsidi BBM.

Sementara kalangan percaya tekanan KMP terhadap pemerintah mengendur kalau terjadi perubahan kepemimpinan di Partai Golkar. Spekulasi ini didasarkan atas persepsi bahwa pilar kekuatan KMP berada di Partai Golkar. Oleh karena itu, kalau kepemimpinan Partai Golkar dapat dilakukan dengan demokratis serta bebas dari transaksi kepentingan kekuasaan, sangat mungkin pemerintahan akan berjalan lebih ancar. Namun, hal itu tidak mudah diwujudkan karena perhelatan tersebut beraroma transaksi yang membuat bulu kuduk merinding. Sinyalemen Ketua DPD Provinsi menyebutkan, musyawarah nasional (munas) nanti Rp 700 juta, lebih tinggi daripada munas lima tahun lalu yang nilainya Rp 500 juta per satu suara (Republika, 19/11). Untuk melawan spekulasi dan suara-suara miring tersebut, gagasan melibatkan KPK dalam penyelenggaraan munas patut dipertimbangkan.

Dalam konstruksi politik seperti itu, cara paling ampuh bagi pemerintahan JKW-JK dalam melawan politisasi parlemen untuk kepentingan kekuasaan adalah menghasilkan kebijakan yang transparan, akuntabel, serta memihak kepada kepentingan rakyat.

J Kristiadi Peneliti Senior CSIS

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010296017
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger