Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 06 November 2014

Media dan Pertarungan Politik (Agus Sudibyo)

KETIKA gegap gempita pemilihan presiden telah usai, semestinya pers Indonesia segera kembali pada khitah pers yang profesional: menjunjung tinggi etika dan konsisten menjalankan fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan kekuasaan.
Publik berharap tidak ada lagi pers yang pro Joko Widodo atau yang pro Prabowo. Yang ada tinggal pers yang mampu bersikap kritis sekaligus proporsional terhadap pemerintah, DPR, lembaga yudikatif, partai politik, kekuatan pemodal, bahkan unsur masyarakat sipil.

Namun, huru-hara politik ternyata belum berakhir. Pertarungan politik berlanjut dalam perebutan jabatan strategis di DPR dan kemungkinan juga jabatan-jabatan strategis lainnya. Drama sengit pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) jelas mengindikasikan hal itu. Masalahnya kemudian, para pemilik media masih menjadi tokoh kunci dari kubu-kubu yang terlibat dalam pertarungan politik tersebut. Tak pelak lagi, bayang-bayang pers yang partisan masih menghantui kita. Pengerahan media sebagai instrumen propaganda politik masih mungkin terjadi lagi dan ruang publik media kembali terancam direcoki urusan-urusan partikular sepihak pemilik media dan jaringan politiknya.

Memberitakan konflik
Konflik, apa pun bentuknya, adalah oase yang tak pernah kering dalam liputan media (George Wang, 1980). Konflik selalu memiliki daya-magnetik untuk menyedot perhatian khalayak. Maka, wajar jika sajian utama pemberitaan media kita hari ini adalah konflik politik dalam berbagai bentuk.

Bagaimana media semestinya menyikapi konflik? Kita dapat menjawabnya secara negatif: tidak berlebihan mengomodifikasi konflik, tidak memperkeruh konflik, tidak menjadi pihak. Masyarakat sangat membutuhkan informasi tentang konflik politik dan, oleh karena itu, pemberitaan konflik politik sering diandalkan untuk menjaga pergerakan oplah, rating, share, atau hit. Namun, media juga harus memperhatikan urgensi dan dampak pemberitaan. Jangan sampai pemberitaan media yang menggebu-gebu justru mempersulit upaya rekonsiliasi atau penyelesaian konflik. Media harus menjadi penyusut konflik dan bukan pembengkak konflik.

Secara etis, media juga harus berjarak dari konflik dan tidak menjadi pihak. Keberpihakan akan menghalangi media melihat persoalan secara jernih. Menggunakan istilah Bill Kovack (2008), media seharusnya tidak mencari musuh atau sebaliknya mencari kawan. Media harus bersikap kritis dan selidik terhadap semua pihak.

Tugas media kemudian adalah membantu masyarakat memahami duduk-perkara dengan cara menyajikan plus-minus dari fakta, ide, atau pilihan-pilihan yang sedang diperdebatkan secara memadai dan independen, memeriksa fakta. Untuk itu, media harus melakukan proses verifikasi secara disiplin dan konsekuen.

Keberpihakan media
Apakah dengan demikian media tidak boleh berpihak? Setelah memeriksa fakta dengan saksama dan kritis, media sesungguhnya bisa saja menyatakan sikapnya. Kita bisa mengambil contoh kasus RUU Pilkada. Media
yang profesional menunjukkan plus-minus dari pilihan pilkada langsung oleh rakyat ataupun pilkada oleh DPRD. Media bersikap kritis terhadap keduanya. Namun, setelah menyajikan kelemahan dan kelebihan masing- masing, bisa saja akhirnya media menyatakan pilihan yang satu lebih baik daripada pilihan yang lain. Namun, hal ini tidak dilakukan secara membabi buta, tetapi secara argumentatif.

Harus diakui, ada perbedaan pandangan tentang keberpihakan media di sini. Pandangan pertama menyatakan bahwa tugas media cukup menyajikan data dan informasi secara lengkap tanpa harus berpihak. Selanjutnya, biarkanlah masyarakat menentukan sikap secara mandiri.

Pandangan kedua menyatakan bahwa dalam situasi yang genting, pers harus mendorong masyarakat menentukan sikap dan tidak sekadar menyajikan informasi secara netral. Bersikap netral ketika masyarakat sedang menghadapi krisis adalah suatu amoralitas. Sebaliknya, mengarahkan masyarakat ke suatu pilihan politik yang lebih baik adalah suatu kebajikan.

Terhadap pandangan yang "membenarkan" keberpihakan media ini perlu ditambahkan dua sangkalan. Yang pertama, khalayak media adalah masyarakat dengan kemajemukan pilihan dan sikap politik. Dalam pilpres yang lalu ada masyarakat yang pro Jokowi, ada yang pro Prabowo, ada yang netral. Dalam pertarungan politik saat ini ada masyarakat yang pro Koalisi Merah Putih, pro Koalisi Indonesia Hebat, ada pula yang netral. Sebagai "cermin masyarakat", idealnya media mewadahi kemajemukan ini. Jika media memutuskan berpihak kepada satu pilihan politik saja, media harus siap ditinggalkan khalayak yang mempunyai pilihan berbeda atau yang netral.

Kedua, keberpihakan media semestinya terhadap nilai atau gagasan, bukan terhadap figur. Media sebagai institusi sosial semestinya tidak mempromosikan tokoh politik an sich, tetapi mempromosikan kebajikan, prinsip atau gagasan yang dibawa tokoh tersebut.

Katakanlah banyak media mendukung Jokowi, bukan karena alasan-alasan pribadi yang dapat mengarah kepada fanatisme individu, melainkan karena Jokowi menawarkan nilai perubahan, kesederhanaan, bersih-diri, kerja-keras, dan semacamnya. Fanatisme individu akan menghalangi kita bersikap kritis ketika saatnya nanti sang tokoh melakukan kesalahan dan membutuhkan kritik dari suatu jarak tertentu. Padahal, bersikap kritis dari suatu jarak inilah esensi utama jurnalisme, yang membedakan media profesional dengan media partisan.

Menggali kubur sendiri
Singkat kata, keberpihakan media secara moral dimungkinkan, tetapi harus diperhitungkan benar konteks, urgensi, dan risikonya. Bisnis media sangat sensitif terhadap persoalan kredibilitas dan integritas.

Fakta menunjukkan bahwa sikap partisan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden yang lalu sempat menggoyahkan sisi bisnis beberapa media: rating melemah, pendapatan menurun, dan harga saham terkoreksi. Masyarakat mempunyai banyak pilihan sumber informasi dan tidak memiliki kesetiaan tunggal terhadap suatu media. Kalangan pengiklan sangat sensitif terhadap persepsi masyarakat, misalnya sebagaimana tecermin dalam sinisme di media sosial.

Meminjam kalimat Ashadi Siregar, media yang mengkhianati publik dan menjadi badan organik dari kekuatan politik ataupun orientasi kepentingan subyektif pemiliknya adalah media yang secara sosiologis menggali liang kuburnya sendiri. Media yang seperti itu niscaya ditinggalkan oleh masyarakat sebagai institusi sosial dan kemudian juga dihindari oleh pengiklan dan pasar saham sebagai institusi bisnis.

Agus Sudibyo Redaktur Pelaksana Jurnal Prisma

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009874781
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger