Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 20 November 2014

Revolusi Produksi (Muhammad Syarkawi Rauf)

MASYARAKAT Indonesia patut mengapresiasi keberanian Joko Widodo-Jusuf Kalla memutus mata rantai ketidakadilan dalam penyaluran subsidi bahan bakar minyak. Selama ini, subsidi BBM lebih banyak dinikmati kelompok berpendapatan menengah ke atas yang menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan dengan masyarakat miskin sebagai pengguna angkutan publik.
Lebih jauh, keberanian JKW-JK mengalihkan subsidi BBM merupakan momentum bagi perekonomian nasional untuk memasuki fase revolusi produksi. Hal ini yang juga menjadi tema utama laporan Bank Dunia untuk Indonesia tahun 2014, Indonesia: Avoiding The Trap. Di sana diulas pentingnya mengatasi permasalahan struktural dalam kaitannya dengan realokasi subsidi BBM untuk memperbaiki produktivitas angkatan kerja dan pembangunan infrastruktur.

Tersedianya ruang fiskal yang lebih besar dalam APBN memberi peluang bagi pemerintah untuk mengoreksi pola transformasi perekonomian nasional yang selama ini mengalami jumping transformation, yaitu melompat dari perekonomian berbasis sektor primer ke tersier.

Akar permasalahan
Perekonomian Indonesia bahkan mengalami deindustrialisasi, ditandai menurunnya kontribusi industri dalam output nasional. Alhasil, dalam 10 tahun terakhir pemerintah kewalahan menahan laju ketimpangan antarpendapatan per kapita dan daerah yang trennya baru akan berhenti ketika memasuki fase industri. Hal ini sejalan dengan Kuznets (1955) dan Williamson (1965) bahwa negara pada tahap praindustri akan mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi diikuti tingginya ketimpangan antarpendapatan per kapita dan antardaerah.

Akar permasalahan ketimpangan terletak pada strategi kebijakan makro yang selama 10 tahun terakhir lebih mengutamakan sisi permintaan (konsumsi) dibandingkan dengan sisi pasokan (produksi). Selama ini, kebijakan fiskal lebih banyak diarahkan untuk mempertahankan subsidi, termasuk subsidi BBM untuk meningkatkan daya beli (sisi permintaan).

Sementara sisi produksi terabaikan terkait dengan kurangnya dukungan pemerintah terhadap peningkatan produktivitas angkatan kerja, terhambatnya pengembangan teknologi yang tecermin pada belanja penelitian dan pengembangan yang rendah, serta keterbatasan alokasi investasi pemerintah untuk infrastruktur.

Hal yang sama juga terjadi pada sisi kebijakan moneter, yang melalui UU Independensi Bank Indonesia memberi mandat tunggal kepada BI untuk mengatasi inflasi (inflation targeting framework). Akibatnya, operasionalisasi kebijakan moneter lebih banyak menggunakan instrumen suku bunga acuan BI untuk memengaruhi konsumsi. Resep kebijakan BI sangat sederhana, yaitu menaikkan suku bunga acuan pada saat inflasi tinggi dan menurunkannya pada saat inflasi rendah. Padahal, inflasi di Indonesia tidak disebabkan tekanan konsumsi semata, tetapi lebih didorong oleh gangguan sisi pasokan dalam kaitannya dengan produksi dan distribusi.

Selama ini, dengan alasan keterbatasan anggaran dalam APBN (kebijakan fiskal), insentif untuk menggerakkan perekonomian nasional lebih terfokus pada instrumen keuangan (kebijakan moneter), seperti penjaminan kredit dalam skim kredit usaha rakyat (KUR) dan kemudahan akses pembiayaan.

Akibatnya, komposisi kredit perbankan lebih banyak mengucur untuk membiayai konsumsi (kredit konsumsi) dan perdagangan (kredit modal kerja) dibandingkan dengan investasi (kredit investasi). Tak hanya itu, 85 persen kredit perbankan tersalur di Jawa dan Sumatera, hanya 15 persen di daerah lain.

Selain itu, pemerintah justru mendistorsi pasar melalui kebijakan tata niaga pangan yang terlampau fokus mengurusi harga pokok penjualan (HPP) gula, tetapi lupa mendorong efisiensi industri gula nasional. Pola di atas berkontribusi terhadap tingginya peranan konsumsi dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Revolusi kedua
Pengalihan subsidi BBM yang sedang berjalan belumlah cukup, tetapi harus diikuti revolusi kedua (setelah revolusi mental) dalam bentuk revolusi produksi (supply side revolution). Hal ini akan mempercepat transformasi struktural perekonomian nasional dengan bergeser dari pertumbuhan yang digerakkan oleh eksploitasi sumber daya alam ke produktivitas penggunaan tenaga kerja dan modal (Bank Dunia, 2014).

Revolusi produksi dilakukan dengan membenahi hal berikut. Pertama, mengarahkan kebijakan makroekonomi untuk mendukung industrialisasi.

Kedua, mengatasi kekurangan ketersediaan infrastruktur dengan cara meningkatkan belanja infrastruktur yang saat ini 3-4 menjadi 7-10 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2019, setara dengan Tiongkok yang telah mencapai 10 persen dari PDB-nya.

Ketiga, membenahi kualitas angkatan kerja nasional yang masih didominasi tenaga kerja lulusan SMU ke bawah dan juga merelokasi pusat-pusat riset pengembangan komoditas unggulan, seperti pemindahan pusat riset komoditas kakao dari Jawa Timur ke sentra tanaman kakao di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah.

Keempat, melakukan kaji ulang terhadap semua kebijakan yang tidak memberikan insentif bagi berkembangnya industri nasional. Hal ini dapat diamati pada kebijakan penetapan batas bawah tarif angkutan udara oleh Kementerian Perhubungan yang menjadi sumber disinsentif bagi industri penerbangan melakukan efisiensi.

Akhirnya, dalam jangka menengah, keberanian JKW-JK mengoreksi ketidakadilan dalam alokasi subsidi BBM yang diikuti oleh program revolusi produksi akan menghindarkan Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah dengan pendapatan per kapita lebih besar dari 7.250 dollar AS pada tahun 2019. Semoga sukses.

Muhammad Syarkawi Rauf
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin; Pendiri Jaringan Peneliti Ekonomi Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010190159
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger