Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 20 November 2014

TAJUK RENCANA: Tradisi Pelantikan Gubernur (Kompas)

SEBUAH tradisi baru dimulai. Presiden Joko Widodo melantik Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Istana Negara.
Pelantikan gubernur oleh presiden di istana berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2 Oktober 2014. Ahok, demikian Basuki sering dipanggil, adalah gubernur pertama yang dilantik presiden di Istana Negara. Ini adalah capaian demokrasi Indonesia.

Pelantikan Basuki sebagai gubernur ke-17 Jakarta sebenarnya merupakan peristiwa politik lanjutan setelah Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta, terpilih sebagai presiden. Namun, langkah Basuki menjadi gubernur tidaklah mudah. Ada kelompok masyarakat yang menentangnya menjadi gubernur. DPRD terbelah menyikapi pelantikan Basuki. Pada saat Ketua DPRD DKI Jakarta mengumumkan Basuki sebagai Gubernur DKI Jakarta, anggota DPRD yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih tidak menghadiri rapat paripurna.

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta yang belum bersepakat dengan pelantikan Basuki sebagai gubernur menjanjikan akan mengambil langkah politik. Langkah politik itu adalah menggugat surat keputusan Ketua DPRD DKI Jakarta ke Pengadilan Tata Usaha Negara, meminta penangguhan pelantikan Basuki, dan segera meminta pendapat hukum ke Mahkamah Agung soal dasar hukum pelantikan Basuki sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Dinamika politik yang terjadi mengiringi pelantikan Basuki adalah hal wajar dalam demokrasi. Langkah Wakil Ketua DPRD meminta pendapat hukum ke MA harus dihargai. Langkah hukum yang diambil justru akan menguatkan eksistensi Indonesia sebagai negara hukum. Namun, harus juga dipahami, pendapat MA hanyalah pendapat hukum yang tak punya kekuatan mengikat.

Setelah Basuki dilantik menjadi gubernur, warga Jakarta bisa memanfaatkan energi Jokowi-Basuki, sebagai presiden dan gubernur, untuk membenahi Jakarta. Posisi Jokowi sebagai presiden dan Basuki sebagai gubernur adalah kekuatan besar untuk membenahi Ibu Kota.

Beban Jakarta kian berat. Penduduk Jakarta kian padat dengan tingkat kepadatan pada tahun 2010 mencapai 13.157 orang per kilometer persegi. Terus meningkatnya beban Jakarta membuat kemacetan menjadi wajah sehari-hari akibat ruas jalan yang jarang bertambah. Air baku kian menipis, sementara pada musim hujan banjir menjadi wajah yang lain. Pekerjaan rumah membenahi Jakarta tak mungkin diselesaikan sendiri oleh Basuki. Gubernur membutuhkan DPRD sebagai mitra penyusunan APBD. Namun, kenyataannya alat kelengkapan Dewan belum terbentuk.

Kita berharap bangsa ini, khususnya Jakarta, bergerak maju. Masalah harus bisa diselesaikan dengan kemitraan antara pemerintah dan DPRD. Dalam upaya itu pulalah dituntut kepiawaian Basuki melakukan komunikasi politik. Kita tak ingin langkah pembenahan Jakarta tersandera oleh ego elite yang akan menyengsarakan rakyat.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010190372
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger