Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 22 Desember 2014

LAPORAN AKHIR TAHUN: Butuh Komunikasi yang Santun (Kompas)

TAHUN  2015 berpotensi menjadi tahun politik yang keras bagi pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat. Kondisi itu terbangun sebagai buah disharmoni politik antara eksekutif dan legislatif Provinsi DKI setelah Joko Widodo menjadi Presiden Republik Indonesia.
Komunikasi di antara kedua lembaga ini yang tak kunjung membaik berpotensi merugikan masyarakat. Energi yang seharusnya dihabiskan untuk pembangunan akhirnya menjadi sia-sia. Pencapaian target pembangunan pun menjadi tidak maksimal.

Proses lelang berbagai proyek di DKI Jakarta menjadi lamban, berbelit, dan menimbulkan resistensi tinggi dari para pengguna anggaran. Realitas ini terjadi pada rendahnya penyerapan anggaran DKI Jakarta tahun 2014. Bahkan, diperkirakan sampai akhir tahun anggaran 2014, penyerapan anggaran maksimal hanya
sekitar 40 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta yang mencapai Rp 72,9 triliun.

Rendahnya penyerapan anggaran ini diduga karena sejumlah penyebab, salah satunya adalah sempat terjadi kelambanan kesepakatan eksekutif dengan legislatif yang berujung terlambatnya pembentukan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Selama alat kelengkapan DPRD itu belum terbentuk, pengguna anggaran khawatir menyalahi prosedur pengambilan keputusan proyek atau anggaran. Hal ini bisa membawa konsekuensi hukum yang berujung pada pemenjaraan mereka.

Sejumlah alasan inilah yang membuat karut-marut persoalan di DKI Jakarta tak kunjung teratasi. Penanganan kemacetan, misalnya, tak kunjung menemukan jalan jitu untuk mengatasinya. Pengadaan bus lamban hingga akhir tahun 2014 sehingga pemindahan pengguna kendaraan pribadi roda dua dan roda empat ke angkutan umum tak kunjung terjadi.

Pemasangan alat pemantauan lalu lintas dan penerapan jalan berbayar elektronik juga belum terealisasi. Pembangunan infrastruktur jalan dan pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas terasa lambat.

Mengelola kekuatan
Lepas dari soal setuju atau tidak setuju, pasangan Basuki-Djarot harus meretas semua kebuntuan itu. Paling tidak, kedua pemimpin itu perlu memperbaiki komunikasi politik mereka yang vulgar menjadi lebih santun dengan sejumlah pihak, baik legislatif maupun kolega kerja mereka. Komunikasi politik santun ini bukan berarti Basuki mengubah cara berbicaranya yang lantang, lugas, dan tanpa tedeng aling-aling menjadi lemah lembut. Bukan berarti pula melunak karena tunduk pada cara dan sepak terjang legislatif ataupun kolega kerjanya di DKI Jakarta, yang berujung terbukanya ruang korupsi atau patgulipat di antara para birokrat.

Namun, komunikasi politik yang santun dalam arti bagaimana mengelola kelugasan berbicara menjadi energi dan modalitas politik yang lebih kuat bagi pasangan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta di mata publik. Bukan sebaliknya yang justru bisa menimbulkan kekesalan banyak pihak, menambah musuh, atau malah memperbesar "inflasi pernyataan", dan membangun sikap imun alias kebal di kalangan birokrat atas kritik keras Basuki kepada mereka di berbagai ruang publik. Komunikasi itu akhirnya hanya menjadi entertainment politik.

Untuk itu mendesak dicari jalan terbaik guna menyelesaikan kusutnya komunikasi politik antara pemerintah provinsi dan lembaga legislatif. Upaya ini dimaksudkan agar ada dukungan politik yang kuat atau kompromi yang lebih cepat. Dengan demikian, realisasi program yang sudah disusun dalam APBD 2015 bisa dilaksanakan lebih efektif.

Caranya adalah mengelola kekuatan politik yang ada di DPRD. Langkah ini dilakukan guna menghindari terjadi dominasi kekuatan di DPRD yang bisa menyandera eksekutif.

Meskipun demikian, Basuki sendiri berdalih, kondisi itu tidak menjadi soal atau halangan bagi dia untuk mengelola Jakarta. Sebab, Basuki mengaku, ia pernah punya pengalaman politik yang lebih pelik saat memimpin Kabupaten Belitung Timur ketika kursi di DPRD dikuasai partai non-pendukung yang menguasai suara 50 persen plus 1. Namun, terbukti Basuki mampu mengatasinya.

Meski pengalaman itu bisa ia lalui, kondisi Belitung Timur tidaklah sama dengan Jakarta. Kalaupun Basuki tetap meyakini itu tak bermasalah, tetap saja energi yang dihabiskan terlalu mahal dan terbuang sia-sia. Padahal, Basuki dan Djarot, yang kini berpeluang mendapat dukungan besar, bisa menghemat energi.

Basuki bisa memilih cara komunikasi yang lebih strategis dengan pilihan bahasa politik yang tepat, tanpa harus melembek atau berkompromi dengan risiko terbukanya ruang korupsi. Basuki tetap bisa menjalankan visi, prinsip, dan ideologi politiknya secara tegas.

Duet yang pas
Harapan itu kini kian terbuka setelah Basuki memilih Djarot, Wali Kota Blitar, Jawa Timur, periode 2000-2010, sebagai pendampingnya. Sosok dan visi Djarot yang lulusan Fakultas Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, diharapkan bisa seirama dengan Basuki. Lugas, pekerja keras, memiliki tipe dan gaya seperti Jokowi dalam berhubungan sosial dan politik dengan banyak pihak.

Hal ini memudahkan duet ini untuk membangun DKI Jakarta secara bersama. Gaya kepemimpinan Djarot yang tenang, suka blusukan mendengar berbagai persoalan di tingkat bawah, serta menjalin komunikasi dengan birokrasi dan kolega politik akan memudahkan mereka mengelola atau mengendalikan konflik. Selain itu, kehadiran Djarot dalam jajaran birokrasi DKI Jakarta diharapkan bisa segera membangun pola relasi yang lebih cair di seluruh level yang ada di daerah. Dengan demikian, terbangun relasi hubungan yang selama ini tegang antara pimpinan dan jajaran pejabat menjadi lugas dan harmonis. Hal itu akan meningkatkan kinerja birokrasi. Hasil yang akan dicapai dipastikan akan menjadi lebih maksimal dan cepat.

Dengan demikian, rencana Basuki merestrukturisasi birokrasi sebanyak 1.500 pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa dipastikan berjalan efektif tanpa gejolak. Birokrasi DKI Jakarta menjadi lebih efisien dan pelayanan untuk warga menjadi maksimal.

Seiring dengan itu, keinginan Basuki untuk memindahkan peran yang lebih besar di level camat dan lurah juga semakin mudah dilakukan. Lurah didorong dengan insentif gaji yang besar agar bisa bekerja dengan baik. Mereka akan lebih sigap melayani warga dari lahir, lansia, hingga meninggal.

Memang tidak mudah, tetapi untuk meredam ketegangan politik pada tahun 2015 tidak ada salahnya duet Basuki dan Djarot mencobanya. Semoga Jakarta menjadi lebih baik! (BANU ASTONO)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010763487
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger