Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 22 Desember 2014

LAPORAN AKHIR TAHUN: Selamat Tinggal Zona Nyaman (Kompas)

SELAMA ini 6.000 pejabat struktural di Provinsi DKI Jakarta terlalu nyaman dengan posisinya.
Mereka nyaris takkan tergantikan jika tak ada promosi atau memasuki masa pensiun. Pada saat yang sama mereka menikmati berbagai macam sarana dan pendapatan sampingan.

Nasib berbeda dirasakan 66.000 pegawai non-struktural, termasuk yang kompetensinya tinggi sekalipun. Mereka harus antre bertahun-tahun untuk sekadar satu kesempatan promosi. Padahal, penyelesaian masalah Ibu Kota membutuhkan orang dengan kompetensi yang pas, mau bekerja, dan berintegritas.

Reformasi birokrasi
Zona nyaman pegawai negeri sipil (PNS) di DKI itu terusik ketika Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta, dua tahun silam. Ketika Jokowi resmi menjadi Presiden Republik Indonesia dan Basuki Tjahaja Purnama melanjutkan tampuk pimpinan di Ibu Kota, reformasi birokrasi makin digencarkan.

Melaksanakan reformasi birokrasi jelas tidak mudah. Basuki dihadang masalah sulitnya mencari stok pejabat yang kompeten di bidang spesifik, seperti infrastruktur, perencana kota, atau mereka yang ahli dalam perumahan.

Birokrasi Pemerintah Provinsi DKI memang terbelit persoalan struktur organisasi, budaya kerja, dan pola seleksi. Namun, sejak dua tahun lalu, setiap pejabat yang mau promosi ke posisi lebih tinggi harus melalui proses seleksi, bersaing dengan pegawai lain yang memenuhi syarat.

Setelah melelang semua posisi lurah, camat, kepala puskesmas, dan kepala sekolah menengah atas, Pemprov DKI Jakarta akan merampingkan jabatan struktural. Paling tidak 1.500 posisi struktural akan hilang pada awal tahun 2015. Gubernur DKI Jakarta juga akan memotong dana yang selama ini dinikmati sebagian pejabat struktural senilai Rp 2,3 triliun.

Tradisi "urut kacang" atau harus punya kedekatan khusus dengan orang tertentu baru bisa naik jabatan perlahan terkikis. Kinerja PNS DKI kini terpantau dari atas dan bawah. Kesalahan mengambil keputusan bisa berdampak hilangnya posisi.

Jelas, tidak semua birokrat senang. Sebagian di antaranya bahkan menyatakan tidak enak jadi pejabat pada era sekarang. Apalagi, Basuki mengingatkan, semua pejabat struktural sewaktu-waktu bisa menjadi staf. Hal ini sudah dilakukan Basuki pada hari-hari pertama setelah resmi menjabat gubernur. Basuki ingin aparatur bekerja sesuai tuntutan persoalan yang ada di Ibu Kota.

Birokrasi DKI Jakarta memang dinilai terlalu gemuk sehingga perlu dirampingkan. Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek menyebutkan, setidaknya Rp 13 triliun dari APBD DKI tahun 2014 habis untuk belanja gaji dan tunjangan pegawai. Belanja sebesar itu sebenarnya sebagian bisa dialihkan untuk belanja pembangunan atau belanja subsidi.

Mendekati warga
Tahun 2015 adalah tahun pembuktian Pemprov DKI menyelesaikan setumpuk persoalan. Karena itu, perlu aparat yang dapat bekerja cepat dan tanggap di tempat tugasnya. Salah satu langkah yang diambil mulai tahun depan adalah mendekatkan pelayanan di tingkat kelurahan dan kecamatan. Warga tak perlu mengurus perizinan hingga ke tingkat kota/kabupaten dan provinsi. Dengan cara ini, mobilisasi warga dapat ditekan sehingga ikut mengurangi kepadatan lalu lintas kendaraan. Lalu bagaimana layanan di tingkat kelurahan dan kecamatan saat ini?

Di Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pengurusan administrasi kependudukan berlangsung mulai pukul 08.00 hingga 15.00. "Sekarang lebih tertib. Biasanya tidak jelas petugas istirahat sampai pukul berapa," kata Diana Trisnowati (40), ibu rumah tangga yang tinggal di Ragunan, Pasar Minggu.

Di kantor Kecamatan Pasar Minggu, Diana mengurus akta lahir anaknya yang lahir tujuh tahun lalu di Depok, Jawa Barat. "Petugas memberi saya penjelasan kelengkapan administrasi apa saja yang diperlukan dan ke mana saya harus melapor agar anak saya bisa mendapatkan akta lahir. Petugas melayani dengan ramah dan penjelasannya sangat membantu," kata Diana.

Perubahan yang mulai terjadi di birokrasi Jakarta harus dipertahankan. Momentum ini mesti menjadi titik awal perubahan yang lebih permanen. Deddy S Bratakusumah, Staf Ahli Pemerintahan dan Otonomi Daerah di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, menyampaikan, mempertahankan konsistensi ini yang tidak mudah.

Sebab, jika semangat perubahan ini tidak diteruskan, DKI kehilangan momentum mengubah wajah birokrasi. Reformasi birokrasi merupakan amanat UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Salah satu amanat UU itu adalah melarang pendapatan yang tak perlu, seperti uang rapat, pengawas proyek, dan keterlibatan sebagai tim lelang. Semua unsur pekerjaan itu sudah menjadi tanggung jawab pejabat struktural.

Adapun sumber pendapatan pejabat terdiri dari harga jabatan, tunjangan kinerja, dan tunjangan kemahalan. Gubernur Basuki sangat paham dengan UU tersebut karena memang UU ini lahir setelah melalui pembahasan tim di Komisi II DPR. Kala itu, Basuki duduk sebagai anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar.

Pemotongan honor yang tidak perlu bagi pejabat struktural di DKI sesuai ketentuan UU ini. Kalaupun ada keresahan di kalangan pejabat, hal itu sudah wajar terjadi. Namun, langkah ini tidak bisa dipersoalkan karena telah menjadi salah satu amanat konstitusi. Di sisi lain, langkah ini mendapat apresiasi pegawai yang selama ini tidak dapat menikmati penghasilan tambahan. "Hujan" yang tidak merata di birokrasi Jakarta terlalu memanjakan pejabat struktural. Sementara tidak semua pejabat itu bekerja sesuai yang diharapkan.

Reformasi birokrasi sudah tentu mengusik sebagian pejabat yang lama duduk di kursi nyaman. Namun, semua itu semata-mata bertujuan menyediakan layanan yang terbaik untuk warga. Lanjutkan!

(FRANSISCA ROMANA/DENTY P NASTITIE/ANDY RIZA HIDAYAT)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010590821
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger