Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 12 Desember 2014

Parpol dan Pembangunan Bangsa (Iwan Gardono Sujatmiko)

DALAM pertemuan APEC di Beijing, Joko Widodo bertanya kepada Presiden Tiongkok Xi Jinping, apa tiga faktor kesuksesan Tiongkok? Jawabannya: parpol yang bersatu, visi jangka panjang, dan infrastruktur (Tempo.co.id, 15/11/2014).
Sekembali ke Indonesia, Jokowi mengemukakan tiga hal ini dalam pertemuan dengan perbankan (Kompas, 21/11/2014) dan di rapat dengan para gubernur.

Ketiga resep Xi Jinping berbeda dengan keadaan di Indonesia saat ini, yaitu terjadi polarisasi dan konflik antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat serta konflik internal di PPP dan Golkar. Visi Indonesia jangka panjang juga masih kurang jelas dan belum ada rencana seperti GBHN dan Pembangunan Jangka Panjang (25 tahun) seperti era Soeharto walaupun sejak reformasi ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).

Demikian juga infrastruktur masih ketinggalan walau ada program Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sejak 2011. Tentulah perbandingan dengan Tiongkok tak tepat karena banyak perbedaan, yaitu partai di sana partai tunggal komunis (Leninis) yang memonopoli kekuasaan. Namun, monopoli partai komunis yang dominan disertai dengan koreksi internal, yaitu 75.000 kadernya ditangkap karena korupsi (Time, 17/11/2014). Selain itu, suksesi damai elite dan reformasi terbatas partai komunis telah mendukung sistem politik bergerak maju. Saat ini Tiongkok sedang melaksanakan Pelita ke-12 (2011-2015) dan sejak 1979 dilakukan reformasi ekonomi sehingga menghasilkan infrastruktur fisik dan ekonomi yang berkembang sangat pesat.

Sebenarnya Indonesia dapat belajar kepada Malaysia yang walaupun ada perbedaan, tetapi keragaman politik dapat diatasi dengan mufakat untuk membuat koalisi jangka panjang, yakni Barisan Nasional sejak 1973 (sebelumnya bernama Perikatan Parti sejak 1957) yang terdiri dari Melayu (UMNO), China (MCA), India (MIC), dan partai lain. Koalisi nasional ini mempunyai kursi lebih dari 50 persen sehingga politik yang kompak dapat mendukung pembangunan. Perencanaan pembangunan mereka dimulai sejak 1956 dan pada tahun 1991 Malaysia membuat "Vision/Wawasan 2020" untuk menjadi negara maju. Malaysia tidak hanya membangun infrastruktur fisik saja, tetapi infrastruktur sosial budaya dengan membangun keadilan sosial bagi bumiputra.

Peran parpol
Pembangunan bangsa yang dilaksanakan oleh negara butuh organisasi yang kuat dan mampu, seperti parpol, birokrasi, atau militer. Di negara totaliter (komunis), partai komunis dan politbiro memonopoli kehidupan politik, sementara di negara otoriter berperan pemimpin otoriter yang didukung negara (birokrasi dan militer) dan parpol "boneka". Di negara yang ada pemilu bebas (electoral democracy), peran parpol sangat penting. Teori-teori yang ada menunjukkan pentingnya peran negara dan pemerintah, padahal yang berkuasa adalah parpol, khususnya elitenya.

Sebagai contoh terdapat teori peran negara (developmental state) di Asia Timur (Chalmer Johnson, 1982) atau peran negara (high-capacity state) serta akuntabilitas dan hukum (Fukuyama 2011, 2014). Juga terdapat teori yang menyatakan inklusivitas institusi dan elite politik berpengaruh positif pada institusi ekonomi dan pembangunan bangsa (Acemoglu and Robinson, 2012). Inklusivitas di negara berlaku juga di parpol sehingga parpol inklusif akan memajukan negara dan bangsa, tetapi parpol yang ekstraktif/elitis akan menghasilkan keadaan sebaliknya. Parpol punya kekuasaan yang besar dan aliansi parpol dengan media dan korporasi akan memperbesar kekuasaan mereka.

Sesuai dengan dalil Lord Acton, mereka yang punya kekuasaan besar cenderung korup. Menurut Klietgard: C(orruption) = M(onopoly) + D(iscretion) – A(ccountability). Namun, transparansi dan akuntabilitas dari atas perlu didukung juga dari bawah dengan Social Control (SC) sehingga C = M + D – A – SC (lihat "Korupsi dan Gerakan Sosial", Kompas, 25/8/2012). Kontrol sosial ini dapat dilakukan oleh mahasiswa, LSM, pers, intelektual, dan organisasi kemasyarakatan yang masih mempunyai kekuatan untuk mengkritik serta mengoreksi parpol dan pimpinannya. Jika hal ini dapat terlaksana, parpol akan semakin transparan dan demokratis dan mendorong negara serta masyarakat menjadi demokratis.

Demokratisasi parpol
Demokratisasi parpol yang berguna bagi penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa dapat dilakukan melalui tiga program. Pertama, reformasi internal, yaitu parpol meningkatkan transparansi dan akuntabilitasnya dan selalu melaksanakan aspirasi anggota dan warga pemilihnya (konstituen). Parpol—seperti negara—semakin dituntut transparan dan akuntabel dengan beragam aturan. Parpol telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, yaitu mereka diharuskan transparan dan akuntabel, termasuk pelaporan keuangan. Namun, hal tersebut perlu lebih ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan konsultan ataupun KPK.

Saat ini telah telah terjadi perluasan transparansi dan akuntabilitas dari negara kepada para (calon) pejabat negara. Sebagai contoh, pejabat eksekutif dan lembaga komisi negara (KPU) harus melaporkan kekayaannya (LHKPN) ke PPATK sebelum dan pada akhir jabatannya. Jelaslah bahwa para pejabat parpol (DPP, DPD, caleg DPR/DPRD) seharusnya transparan juga mengenai kekayaan dan kinerja mereka. Pola ini dapat menjadi materi kampanye pemilu yang sangat berguna karena publik dapat mengetahui rekam jejak mereka. Transparansi dan akuntabilitas pejabat parpol ini perlu dicantumkan dalam situs parpol (portal transparansi).

Kedua, koreksi internal yang dilakukan anggotanya sehingga terjadi reformasi internal permanen yang responsif dan antisipatif pada aspirasi anggota dan publik. Secara internal, terjadi kecenderungan oligarki dan secara eksternal muncul konflik dan permusuhan dengan parpol lain. Pada tahun 1950-an terjadi gontok-gontokan antarpartai dan jatuh bangun kabinet pemerintah sehingga Soekarno menyatakan agar partai-partai dikubur karena merupakan penyakit. Namun, ini ditentang Mohammad Natsir karena jika partai-partai dikubur, demokrasi akan terkubur juga dan di atasnya akan ada diktator.

Parpol memang penting dan tak boleh dikubur, tetapi yang harus dikoreksi dan diganti adalah pimpinan parpol yang tak demokratis karena akan merugikan parpol itu serta negara dan bangsa. Koreksi internal dan kritik ini pernah dilakukan Deng Xiaoping di Tiongkok dan Mahathir di Malaysia yang membawa pembaruan kepada partai sehingga negara dan bangsa lebih maju.

Ketiga, konstitusionalitas parpol (party constitutionalization) atau dicantumkannya parpol di konstitusi seperti di negara Eropa, dengan rata-rata pasal tentang parpol adalah 3,3 persen di konstitusi 28 negara (Van Biezen and Borz, 2009). Pencantuman aturan parpol di konstitusi akan membuat kontrol pada parpol lebih intensif dibandingkan dengan jika hanya dicantumkan di UU. Sebagai contoh,
di konstitusi dinyatakan bahwa parpol harus transparan, demokratis dalam manajemen dan organisasi, dan ada partisipasi anggota parpol (Portugal); organisasi parpol harus akuntabel tentang aset dan sumber dana mereka (Jerman); atau struktur internal dan kegiatan harus demokratis (Spanyol).

Pembahasan di atas menunjukkan bahwa reformasi internal, koreksi internal, dan konstitusionalisasi parpol dapat menghasilkan parpol baru di Indonesia. Parpol ini sebenarnya didukung birokrasi, ideologi, dan dalam kasus Indonesia terdapat Pancasila, yaitu sila Kerakyatan mencakup Musyawarah Mufakat dan Hikmat Kebijaksanaan. Keberadaan parpol dan pimpinannya yang demokratis akan mempermudah membuat dan melaksanakan visi bersama jangka panjang guna membangun infrastruktur fisik ataupun sosial budaya. Hal ini sudah sangat mendesak karena Indonesia akan menghadapi globalisasi, terutama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015.

Iwan Gardono Sujatmiko
Sosiolog, FISIP Universitas Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010479446
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger