Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 06 Desember 2014

Pesan Himne ”Indonesia Raya” (Daoed JOESOEF)

Setiap upacara resmi kenegaraan tentu dimulai dan ditutup dengan nyanyian himne nasional "Indonesia Raya".
Semua yang hadir tampak bersikap khidmat. Ini adalah penampilan lahiriah.

Apakah bersamaan dengan itu mereka, dalam batin masing-masing, teringat juga pada pesan-pesan yang dikandung oleh bait-bait "Indonesia Raya"?

Pada kesempatan terbatas ini mari kita simak salah satu pesan yang mengingatkan apa yang dimaksud dengan negara idaman dan, terkait dengan itu, bagaimana seharusnya menjalankannya. Sikap para tokoh parpol, yang merasa terpanggil untuk mengemudikan bahtera Indonesia, mengesankan tak peduli pada pesan tadi. Dalam pembahasan selanjutnya akan saya kutip ide dan pemikiran beberapa filosof, pengamat politik, dan kampiun demokrasi seperti George F Will, Raymond Aron, Foucault, Burdeau, Franz Magnis-Suseno.

Setelah secara metaforis menggambarkan Indonesia sebagai seorang makhluk—Ibu Pertiwi, berbeda dan berjiwa—"Indonesia Raya" menyebut "...bangunlah jiwanya, bangunlah badannya...!" Jadi, dengan sengaja berpesan kepada kita bahwa demi Indonesia Raya, perlu kita bangun lebih dahulu "jiwanya" (mental), bukan "badannya", wadah fisik (flesh). Berarti mengingatkan bahwa keterampilan bernegara adalah juga kemahiran membangun jiwa.

Mental warga negara
Langkah awal ke arah pelaksanaan pesan itu adalah menyadari bahwa negara, di mana pun, bukan sekadar berupa "lokalitas fisik". Hotel adalah sebuah lokalitas fisik. Untuk kelangsungan eksistensinya, ia butuh penghuni/penduduk (residents). Indonesia, baik dalam artian negara maupun negara-bangsa, membutuhkan warga negara (citizens). Maka, "penduduk" harus ditempa menjadi "warga negara". Berarti suatu pemerintah yang demokratis harus bertindak sekaligus sebagai "tutor" dan "pelayan" bagi para warganya karena kewarganegaraan adalah suatu alam pikiran, citizenship is a mindset.

Langkah kedua adalah memerinci pengertian yang diniscayakan tentang Tanah Air. Agar tak jadi warga negara yang munafik, perlu kiranya sekarang ditegaskan bahwa pengertian Tanah Air berdimensi tiga, yang semuanya perlu dipenuhi, yaitu dalam artian fisik, formal, dan mental. Tanah Air dalam artian fisik adalah bumi tempat kita dilahirkan, sumber nafkah kehidupan, dan tempat kita istirahat untuk selamanya. Tanah Air dalam artian formal adalah entitas politik yang kedaulatannya membuat kita menjadi manusia merdeka dan bermartabat di mata dunia. Tanah Air dalam artian mental adalah tuntutan agar kita menyatu dengan suka dukanya, berkomitmen untuk membangun dan mempertahankan eksistensinya dengan jiwa dan raga kita.

Artian ketiga ini yang sekarang kelihatan sekali semakin diabaikan. Tidak sedikit warga negara Indonesia kontemporer menyimpan di luar negeri harta kekayaan yang digali dari bumi Indonesia, bahkan memakainya sebagai modal berbisnis di negeri asing, sedangkan di negeri sendiri masih banyak warga yang menganggur. Ada yang seenaknya menjual pulau atau mengeruk tanahnya untuk memperluas daratan negeri lain. Mereka ini sebenarnya masih bermental "penduduk", bukan "warga negara", tidak bersedia "engaged", apalagi "committ" dalam usaha kolektif memecahkan masalah bangsa. Jadi "mindset" mereka bukan seperti yang diharapkan Ibu Pertiwi.

Demokrasi meniscayakan kita membuka pikiran. Namun, suatu pikiran yang terbuka lebar dan permanen bisa jadi berupa pikiran kosong andaikata masih dianggap pikiran. Suatu pikiran tak mungkin tanpa bentuk (shapeless), ia perlu dibina. Orang yang membina sentimen publik akan menyelami lebih dalam alam pikiran daripada orang yang menyusun peraturan dan mengambil keputusan. Dia membuat peraturan dan keputusan yang mungkin atau tak mungkin terlaksana. Orang yang membina opini publik (bisa) mewujudkan atau menghancurkan bangsa karena, menurut Lincoln, "a nation may be said to consist of its territory, its people and its laws. The territory is the only part which is certain of durability."

Pemerintah yang kerjanya bersendikan konvensi dapat ditransformasi oleh transformasi dari opini. Jika pemerintah ingin lebih daripada sekadar merespons kekuatan-kekuatan sosial, jika ia ingin membentuk dan memimpin kekuatan-kekuatan itu, termasuk pasang-surutnya opini, ia harus konsen dengan (alam) pikiran.

Menata alam pikiran sama dengan mendidik karena pendidikan bukan mengajar orang memikirkan apa (what to think), melainkan bagaimana berpikir (how to think). Kita tidak bisa membiarkan guru memanfaatkan posisinya untuk berpropaganda. Namun, kita juga tidak akan menolerir guru yang tidak peduli terhadap jenis-jenis judgements anak-anak didiknya atau cara-cara mereka memilih sesuatu judgement. Tentu masih banyak lagi konklusi yang belum terpikir oleh mereka.

Misi negara
Tujuan dari keterampilan berbangsa sebagai kemahiran membangun jiwa bukanlah mempromosikan suatu pandangan khas tentang keamanan atau kesejahteraan, atau pembangunan, atau hal praktis tertentu dari kebijakan yang sedang berlaku, atau masalah-masalah lebih umum seperti keseimbangan optimum antara kebebasan dan kesetaraan dalam program keadilan distributif. Soal-soal tersebut pasti merupakan subyek dari perdebatan permanen dan, karena itu, menjadi isu yang mendasari pengorganisasian partisan.

Berbagai bagian dari pemerintahan yang dikontrol oleh parpol tertentu akan menyandarkan argumentasinya pada salah satu dari pandangan partisan itu. Namun, negara dalam kapasitasnya selaku penyelenggara kepentingan rakyat yang serba sakral bukanlah partisan dari argumen-argumen tadi. Ia adalah partisan permanen dan berkesungguhan yang mengatasnamakan ciri konstitusional tertentu, kearifan sosial, dan proses institusional yang dianggap mendasari suatu kepartisanan yang sehat. Ia harus bersikap begitu karena kebebasan adalah suatu disiplin, dalam berpikir maupun berbuat.

Berhubung pemerintah dibentuk oleh dan bersama-sama parpol, parpol dituntut turut bertanggung jawab atas penempaan penduduk menjadi warga negara melalui pembangunan jiwa yang mengacu pada penataan alam pikirannya. Politika adalah berbicara tentang bicara, tentang idiom politik yang berlaku, idiom tradisional dari demokrasi. Berhubung politika terdiri atas 95 persen bicara, apabila pembicaraan terlalu unrealistic, akan diperoleh pemerintahan yang tidak perlu unrealistic.

Maka, untuk merevitalisasi politika dan mengokohkan pemerintah, kita butuh bicara tentang berbicara, bukan "debat kusir". Kita memerlukan suatu retorika terhormat yang baru, yaitu kejeniusan, kearifan yang terbaik dari natur human. Kita bukan apa yang kita makan, bukan produk dari pembangunan badan, tetapi produk dari kejiwaan yang menata pikiran. Maka, parpol perlu membekali kader-kadernya dengan aneka ide dan pengetahuan khas tentang politik dan ketatanegaraan, mirip dengan kursus-kursus kader "Pendidikan Nasional Indonesia" yang diorganisasikan oleh Hatta dan Sjahrir di masa perjuangan kemerdekaan dahulu (1932-1933).

Berhubung kondisi kehidupan politik sekarang sudah jauh lebih kompleks, materi pembahasan perlu disesuaikan begitu rupa hingga betul-betul relevan. Para kader perlu pembelajaran filosofi politik tentang polity, yang tak sekadar mengkaji lembaga-lembaga pemerintah. Polity jauh lebih luas, mencakup semua lembaga, disposisi, kebiasaan, dan ide pada mana pemerintah bersandar dan, karena itu, perlu ia kuasai agar bisa punya "a shaping influence". Bukankah negara bukan berupa satu lokalitas fisik, melainkan punya misi tertentu sebagaimana diingatkan himne nasional "Indonesia Raya". Justru kedemokrasian yang menuntut pemerintah harus bertindak sebagai "tutor" dan "pelayan" bagi warganya karena kewarganegaraan adalah suatu alam pikiran (mindset).

Daoed JOESOEF
Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010347729
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger