Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 18 Desember 2014

TAJUK RENCANA: Belajar dari Pengalaman (Kompas)

SELEKSI hakim konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ataupun Presiden Joko Widodo kembali memicu kontroversi.
Putusan MA mengusulkan Hakim Tinggi Suhartoyo ataupun Manahan P Sitompul, Ketua Pengadilan Tinggi Bangka Belitung, memicu kritik dari Komisi Yudisial. Komisi Yudisial sebelumnya mengusulkan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi dan Manahan P Sitompul menjadi hakim konstitusi dari jalur MA. Kedua hakim itu menggantikan Ahmad Fadlil yang habis masa jabatannya dan Muhammad Alim yang memasuki usia pensiun. Rekomendasi Komisi Yudisial itu tidak sepenuhnya didengar MA. MA mengusulkan Suhartoyo dan Manahan. Komisi Yudisial keberatan terhadap Suhartoyo karena hakim tersebut diduga terlibat dalam pelanggaran etika.

Langkah Presiden Joko Widodo membentuk panitia seleksi mencari calon pengganti Hamdan Zoelva yang habis masa jabatannya pada 7 Januari 2015 dipersoalkan MK. MK keberatan dengan penunjukan Todung Mulya Lubis dan Refly Harun sebagai anggota panitia seleksi yang dipimpin Saldi Isra dengan anggota Maruarar Siahaan, Harjono, Satya Arinanto, dan Widodo Ekatjahjana.

Kritik terhadap seleksi hakim MK selalu terjadi. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Hakim Konstitusi Patrialis Akbar tanpa melibatkan publik, hal itu dipersoalkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. PTUN Jakarta membatalkan keputusan presiden yang menunjuk Patrialis, tetapi putusan PTUN itu dikoreksi pada tingkat banding. Pengalaman menunjukkan seleksi hakim konstitusi selalu bermasalah dari proses ataupun hasil. Penunjukan Akil Mochtar sebagai hakim konstitusi dari DPR untuk kedua kalinya terbukti bermasalah dari sisi hasil. Akil ditangkap KPK karena memperdagangkan perkara.

Kita mendorong lembaga yang punya kewenangan mencalonkan hakim konstitusi—MA, DPR, dan Presiden— berpegang pada UU tentang MK. UU mewajibkan keterlibatan masyarakat memberikan masukan terhadap sosok calon hakim konstitusi. Undang-undang memberikan kewenangan kepada DPR, MA, dan Presiden untuk mengajukan calon hakim konstitusi. Karena itulah langkah MK menyampaikan keberatan terhadap anggota Panitia Seleksi Hakim Konstitusi menjadi tidak pada tempatnya.

Mencari hakim konstitusi yang diberi predikat negarawan yang menguasai konstitusi bukanlah seperti membuka lowongan pekerjaan. Calon hakim konstitusi, karena tugas dan fungsinya sebagai penguji undang-undang, menyelesaikan sengketa lembaga negara, maupun pemakzulan presiden, adalah sosok yang benar-benar negarawan sejati, bukan politisi yang hanya memahami jabatannya sebagai pembagian peran dan fungsi saja.

Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana MK mempunyai lembaga pengawas. Seperti dikatakan Scott Gordon (2002), power can only be controlled by power. Inilah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bangsa ini.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010759060
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger