Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 05 Desember 2014

Tajuk Rencana: Budaya Ahistoris yang Akut (Kompas)

Telantarnya sebagian besar taman budaya dan ditutupnya Karta Pustaka menabalkan keyakinan: budaya ahistoris kita yang akut.
Narasi kedua peristiwa di atas berbeda. Namun, narasi besarnya, keduanya hanya sebagian kecil contoh budaya ahistoris yang akut. Memotong akar sejarah biasa dilakukan pemerintahan yang berslogan pragmatis dan hedonis. Perdebatan pro dan kontranya panjang. Namun, tanpa sadar kita menghidupi sikap budaya anti sejarah.

Jepang, ketika tiga setengah tahun menguasai Indonesia, membakar semua dokumen walaupun aslinya mereka simpan dan bawa pulang. Belanda dan Inggris, dua penjajah yang ekspansionis plus kolonialis seperti Jepang, menyimpan rapi semua dokumen praksis pemerintahannya di Hindia Belanda, bahkan mengangkut naskah-naskah asli kuno tak ternilai harganya dari Indonesia.

Ketiga mantan penjajah dikenal sebagai negara yang menghargai data sejarah dan peninggalan. Data dan sejarah tidak hanya dimanfaatkan untuk keperluan politik dan ekonomi, tidak hanya demi justifikasi politis dan pertumbuhan ekonomi, tetapi pusat penelitian dan sumber kekayaan intelektual. Mereka anut, masa kini adalah endapan masa lalu dan masa depan proyeksi masa kini.

Kepentingan politik dengan panduan pragmatisme dan dominasi uang membunuh segala yang serba pasten. Yang terpenting sekarang dan nanti. Tanpa sadar kredo ini berarti bunuh diri atau gali lubang sendiri. Malaysia gemar menghaki hasil budaya kita karena merasa harus memiliki akar budaya.

Kita sebaliknya. Dibungkus ideologi pemerintahan bahwa kebudayaan disempitkan kesenian, dipandu kredo pragmatisme dan kepentingan ekonomi, kita sia-siakan masa lalu. Masa depan itu segala-galanya. Turunannya beragam. Yang paling kasatmata, penghancuran dan penelantaran segala peninggalan masa lampau, fisik ataupun nonfisik.

Tanpa kita sadari kita membentuk diri sebagai masyarakat mesin, meminjam istilah Erich Fromm, masyarakat yang tidak menengok masa lalunya, yang tidak pernah bisa menghargai masa lalunya sebagai komplemen demi pemenuhan kepentingan politik dan ekonomi atas panduan pragmatisme dan hedonisme. Bisa membangun tidak bisa memelihara, tidak lagi seloroh, tetapi turunan konkret aktual budaya ahistoris.

Dalam konteks aktual-praktis-konkret, kita taruhkan kasus telantarnya taman budaya dan ditutupnya Karta Pustaka. Kehadiran Karta Pustaka sejak 1968, seperti halnya KITLV Indonesia dalam membangun hubungan baik Indonesia-Belanda secara budaya, perlu diapresiasi dan tidak dilupakan.

Rencana merevitalisasi semua taman budaya kita harapkan bukan dengan semangat ahistoris. Jangan sampai kita terjebak dalam kebenaran satiris: bangsa yang melupakan sejarah. Revolusi mental yang digulirkan Presiden Joko Widodo memperoleh momentum konkret-aktual pada saat kita mengidap sakit ahistoris yang akut ini.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010479701
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger