Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 17 Desember 2014

TAJUK RENCANA: Urgensi Stabilisasi Rupiah (Kompas)

SEPERTI dicemaskan, tekanan terhadap rupiah masih terus berlanjut pekan ini dengan kurs sempat menyentuh level Rp 13.000/dollar AS, Selasa (16/12).
Rupiah di posisi terendah 16 tahun terakhir atau sejak krisis 1997, terdepresiasi 4,7 persen dibanding awal 2014. Level ini di atas tingkat ekuilibrium menurut BI, yakni Rp 11.500/dollar AS dan asumsi APBN Rp 11.900/dollar AS.

Meski pelemahan mata uang kali ini fenomena global dan diyakini sifatnya temporer dengan posisi rupiah lebih baik dibandingkan kebanyakan mata uang Asia lain, pergerakan rupiah beberapa hari terakhir mulai menunjukkan sinyal berbahaya. Mengingat dampak destruktif pelemahan rupiah ke perekonomian domestik jika tak dikendalikan, langkah stabilisasi mendesak dalam jangka pendek, meski konsekuensinya agak mengerem pertumbuhan ekonomi.

Intervensi dan kehadiran aktif BI di pasar valas dan pasar surat berharga negara diperlukan untuk meyakinkan bahwa BI tetap akan mengawal rupiah dan tak membiarkan rupiah terus meluncur ke titik kritis baru.

Namun, itu saja tidak cukup. Perlu langkah lebih tegas lain untuk membalikkan tren pelemahan dan sentimen negatif dalam negeri guna menahan terus melemahnya rupiah. Termasuk lewat pengendalian impor dan manajemen yang lebih baik dalam suplai dan permintaan valas (termasuk untuk kebutuhan membayar utang) dan insentif bagi repatriasi devisa ekspor yang diparkir di luar negeri.

Dampak langsung melemahnya rupiah adalah membengkaknya beban uang luar negeri karena besarnya porsi utang dollar AS. Tingginya ketergantungan pada bahan baku impor juga membuat sejumlah industri terpukul. Pelemahan rupiah juga meningkatkan risiko kebangkrutan korporasi, sebagaimana tecermin dari hasil stress test BI.

Kepada konsumen, melemahnya rupiah mengakibatkan meningkatnya harga barang dan tekanan inflasi, yang selanjutnya akan menekan daya beli. Ini akan kian menekan konsumsi dalam negeri yang melemah setelah kenaikan harga BBM, dan pada akhirnya mengancam pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Selain faktor global terkait membaiknya ekonomi AS yang membawa pula sentimen positif terhadap dollar AS serta rencana kenaikan suku bunga AS dalam waktu dekat, dari sisi internal tingginya permintaan akan dollar AS untuk membayar utang (khususnya utang luar negeri swasta yang jatuh tempo di akhir tahun) dan fundamental ekonomi juga berperan dalam pelemahan rupiah. Defisit transaksi berjalan masih besar. Prospek pertumbuhan ekonomi melemah sejalan melemahnya ekspor dan konsumsi domestik. Tekanan inflasi masih tinggi. Indeks kepercayaan konsumen melemah. Investor wait and see.

Jangka panjang prospek Indonesia masih sangat cerah. Konsensus global, kita masih pilihan terbaik berinvestasi. Pertumbuhan berpotensi digenjot ke 7 persen jika proyek infrastruktur bisa dikebut. Imbal hasil saham dan spread suku bunga SUN masih sangat atraktif. Langkah mengu- rangi subsidi harus dilanjutkan dengan perbaikan fundamental ekonomi lainnya. Koordinasi fiskal-moneter-riil juga harus diperkuat. Stimulus fiskal perlu dioptimalkan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010695581
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger