Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 29 Desember 2014

Tata Ruang Jangan Sektoral (Tommy Firman)

SUATU sindiran yang beredar di masyarakat mengenai rencana tata ruang kota dan wilayah selama ini adalah "yang direncanakan tak dibangun, yang dibangun tak direncanakan".
Kendati ada rencana tata ruang yang dapat dilaksanakan dengan baik, di samping yang memang tidak efektif implementasinya, sindiran itu merupakan masalah nyata yang terjadi dalam pembangunan kota dan wilayah di Indonesia. Ujung-ujungnya tata ruang sering pula diibaratkan sebagai "macan kertas" yang tak bertaji dalam menghadapi dinamika pembangunan. Padahal, sesungguhnya tata ruang merupakan alat kendali pembangunan.

Sesungguhnya penataan ruang memiliki tujuan sangat baik. Secara normatif dan sederhana, ia dapat dirumuskan sebagai upaya mengalokasikan ruang, khususnya lahan—untuk beragam kegiatan sosial-ekonomi—dengan kebutuhan infrastukturnya. Dengan begitu, terbentuk sinergitas di antaranya dan mendukung keberlanjutan kota dan wilayah pada masa depan. Secara formal, sebenarnya perhatian pemerintah ataupun lembaga legislasi sangat besar dan sudah cukup lama mengenai hal ini, bahkan sejak Repelita II (1974). Namun, hingga saat ini penataan ruang dirasakan belum cukup efektif, terutama dalam implementasinya.

Lintas sektoral
Penataan ruang bukanlah suatu tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih luas, khususnya pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. Karena fungsi dan perannya yang demikian, penataan ruang harus dipandang sebagai kegiatan yang bersifat lintas sektoral. Masalahnya, kerap terjadi yang sering disebut "ego sektoral", bahkan tak jarang yang terjadi menjadi kegiatan sektoral.

Ada banyak faktor yang memengaruhi kualitas dan implementasi rencana tata ruang. Pada masa lalu, masalah utama yang dirasakan adalah kurangnya sumber daya keahlian penyusunan suatu rencana tata ruang, di samping juga minimnya data dan informasi yang dibutuhkan untuk tata ruang yang baik pada beragam skala: nasional, provinsi, kabupaten/kota, sampai pada bagian kota.

Hingga kini, masalah tersebut masih dirasakan. Namun, persoalan paling aktual dewasa ini adalah tidak konsistennya antara rencana dan implementasi. Banyak hal yang menjadi penyebab. Penyebab-penyebab itu di antaranya terkait dengan kepentingan bisnis, bahkan politis, serta belum memadainya kapasitas kelembagaan pembangunan kota dan wilayah, khususnya di tingkat lokal. Sering terjadi pembangunan kota dan wilayah berujung pada "pelanggaran" tata ruang. Misalnya, kawasan hijau kota atau kawasan lindung yang ditetapkan dalam rencana tata ruang ternyata diubah peruntukannya menjadi kawasan bangunan, bisa berupa pusat perbelanjaan ataupun perkantoran.

Sesungguhnya kehadiran sektor bisnis (swasta) mutlak diperlukan dalam pembangunan kota ataupun wilayah. Tanpa kehadiran mereka, pembangunan kota dan wilayah tidak mungkin dapat diwujudkan secara penuh. Kendati demikian, sektor swasta jangan sampai menjadi sangat dominan sehingga dapat melobi atau mengatur perkembangan kota sesuai kepentingannya.

Dalam hal ini, sesungguhnya diperlukan kemampuan dan kapasitas kelembagaan pemerintah pusat ataupun provinsi, kabupaten/kota yang andal dalam menggunakan rencana tata ruang sebagai suatu pedoman dan alat pembangunan dan manajemen kota dan wilayah.

Rencana tata ruang bukan sekadar harus ada lantaran kewajiban untuk memenuhi ketentuan-ketentuan formal. Kemampuan teknis dan aparat dalam menerjemahkan tata ruang untuk mengimplementasikannya adalah suatu keniscayaan. Dan, kemampuan itu harus selalu ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, semisal penggunaan instrumen teknologi informasi.

Selain itu, yang juga sangat dibutuhkan adalah suatu kepemimpinan daerah secara kolektif dalam mengelola pembangunan kota, termasuk jajarannya. Sebenarnya model kepemimpinan semacam ini sudah ditunjukkan pada beberapa pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten di Indonesia. Hanya saja, jumlahnya masih sedikit, juga masih bersifat sporadis. Banyak contoh yang sesungguhnya dapat ditularkan dan disampaikan dari sejumlah provinsi, kota, dan kabupaten dalam menangani masalah kota dan wilayah masing-masing.

Masih bergantung figur
Namun, harus dicatat bahwa hingga saat ini kepemimpinan dan kepeloporan tersebut masih sangat bergantung kepada sosok (figur) pimpinan daerah, yang muncul pada setelah reformasi, khususnya melalui pilkada langsung, dan sekaligus mengambil peran dalam pembangunan nasional. Kini sudah saatnya dibangun suatu sistem yang memungkinkan pembangunan kota dan wilayah—antara lain dalam penataan ruang—dapat berlangsung dengan efektif tanpa harus bergantung banyak kepada figur gubernur, wali kota, dan bupati.

Kini pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memberikan perhatian lebih khusus pada penataan ruang, yakni dengan membentuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang dalam Kabinet Kerja. Banyak harapan digantungkan pada kementerian baru ini agar implementasi penataan ruang lebih efektif. Namun, suatu tantangan yang perlu diperhatikan dan sekaligus diwaspadai adalah jangan sampai mengulang "kekeliruan" lama, yaitu menjadikan tata ruang menjadi masalah dan urusan (isu) sektoral. Apalagi sekarang ia menjadi semacam portofolionya suatu kementerian secara eksplisit atau kementerian lain yang terkait.

Dengan demikian, tantangan yang cukup berat dari kementerian baru ini adalah membangun kelembagaan dan sinergitas penataan ruang dengan berbagai sektor terkait (baca: para pemangku kepentingan). Juga tidak memandang dan menjadikan penataan ruang sebagai urusan dan masalah sektoral, bahkan menjadi bersaing (kompetitor) dengan sektor-sektor, di samping tentu saja membenahi dan meningkatkan kualitas penataan ruang beserta kebutuhan data dan informasi yang diperlukan.

Tommy Firman
Guru Besar ITB; Senior Research Fellow, Ash Center for Democratic Governance and Innovation,
Harvard Kennedy School, di Cambridge, Massachusetts

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010837223
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger