Nilai tukar petani yang menunjukkan tingkat kesejahteraan petani turun dari 102,37 (November 2014) menjadi 101,32 (Desember 2014). Nilai tukar petani yang paling rendah adalah perkebunan rakyat, anjlok dari 100,05 (November) menjadi 98,03 (Desember).

Pola yang sama terjadi pada nilai tukar petani hortikultura dan perikanan, sedangkan peternakan stabil dan tanaman pangan naik tipis (0,28) (BPS, 2015). Nilai tukar petani perkebunan rakyat paling miris karena juga ditekan harga internasional yang anjlok belakangan ini, terutama akibat krisis global. Fenomena ini juga menjadi bukti bahwa kenaikan harga komoditas pangan hanya dinikmati pelaku ekonomi di hilir.

Penurunan nilai tukar petani ini merupakan sinyal keras kepada pemerintah untuk sigap mengambil keputusan. Kenaikan harga minyak telah membuat bengkak ongkos produksi dan harga barang konsumsi sehari-hari. Inflasi tahun 2014 sebesar 8,36 persen nyaris sama dengan tahun 2013 (8,38 persen), yang sebagian pemicunya adalah kenaikan harga minyak.

Pengendalian harga pangan dan transportasi, dalam sejarahnya, sulit dikendalikan pemerintah sehingga keduanya menjadi penyumbang utama inflasi. Inflasi Desember 2014 sangat tinggi (2,46 persen), sekaligus menjadi petunjuk kementerian terkait tidak berhasil melakukan mitigasi harga secara layak. Di sini, kelompok petani dihajar dari dua sisi sekaligus: biaya produksi meningkat dan harga barang konsumsi yang melonjak. Daya beli petani dan kelompok rentan lainnya (nelayan, sektor informal, dan buruh) rontok sehingga berpotensi menggelembungkan kemiskinan.

Dalam kasus sektor perkebunan, karakteristiknya agak berbeda. Di luar kenaikan ongkos produksi dan harga barang konsumsi, mereka juga mendapatkan tekanan harga internasional yang merosot.

Jika menengok ke belakang, krisis 1997/ 1998 justru menjadi berkah bagi pelaku di perkebunan karena harga internasional yang melonjak dan nilai tukar rupiah merosot. Itu karena orientasi perkebunan adalah ekspor. Situasi sekarang sebetulnya agak mirip dalam hal nilai tukar, tetapi pembedanya saat ini pasar internasional sedang demam sehingga harganya jatuh dan permintaan berkurang.

Namun, hasilnya sektor perkebunan justru terjerembap. Mitigasi yang perlu dilakukan pasti melebar ke sektor keuangan karena sumber pendanaan perkebunan sebagian (besar) berasal dari perbankan. Jika sektor ini jatuh, potensi kredit macet menjadi besar dan mengganggu stabilitas sektor perbankan.

Ironisnya, kondisi seperti ini juga memproduksi warta yang berulang: pelaku ekonomi mapan memperoleh bonanza akibat kebijakan yang diambil pemerintah ataupun otoritas di sektor keuangan. Kenaikan inflasi direspons dengan kenaikan suku bunga acuan BI, selanjutnya diikuti dengan kenaikan suku bunga deposito.

Bagi mereka yang menempatkan dana di perbankan, kenaikan bunga akan menambah pundi-pundi kekayaan, apalagi jika nanti diambil atau dibelanjakan ketika inflasi sudah mereda. Sementara bagi mereka yang memegang aset, misalnya properti (baik tanah maupun bangunan), sekarang ini adalah masa yang membahagiakan karena pertumbuhan kenaikan harga lebih tinggi seiring dengan kenaikan inflasi.

Implikasinya, nilai aset membengkak dan menambah kekayaan. Dua situasi yang berkebalikan ini tentu bermuara pada ancaman angka ketimpangan yang kian membesar.

Lantas, situasi muram ini mesti dikelola dengan cara bagaimana?

Pemerintah diuntungkan oleh harga minyak internasional yang anjlok sehingga harga minyak domestik telah diturunkan. Biaya produksi petani diharapkan juga ikut turun. Infrastruktur pertanian mesti diprioritaskan, terutama irigasi. Hal ini tidak boleh ditunda, apalagi pemerintah punya ruang fiskal yang bagus.

Subsidi petani, misalnya pupuk, jangan dihapus, tetapi diperbaiki mekanismenya. Rantai distribusi dipangkas sehingga petani punya nisbah ekonomi yang lebih besar. Pengolahan komoditas primer hendaknya segera diinisiasi.

Langkah ini ditempuh tidak sekadar untuk meningkatkan nilai tambah, tetapi juga stabilitas harga yang lebih baik pada komoditas olahan. Koperasi, usaha mikro kecil dan menengah, serta badan usaha milik desa menjadi pelaku utamanya. Pemerintah punya momentum dari pelaksanaan UU Desa tahun ini, tinggal memberikan otoritas penuh kepada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk mengawalnya.

Langkah tersebut bermanfaat melindungi warga yang rentan, tetapi belum mencukupi untuk mengatasi problem ketimpangan. Kebijakan atas aset produktif perlu dilengkapi antara lain dengan kebijakan reforma agraria dan pajak atas modal yang lebih progresif.

Petani, nelayan, dan sektor informal ditingkatkan asetnya sesuai dengan kebutuhan setiap profesi. Sektor keuangan diminta komitmennya menurunkan bunga kredit, khususnya untuk UMKM serta pertanian, yang selama ini amat tinggi.

Sebaliknya, pajak atas aset yang dipakai untuk investasi (saham, tanah, deposito, dan lain-lain) dinaikkan, yang selanjutnya dananya dipakai bagi penguatan sistem jaminan sosial, seperti kesehatan, pendidikan, air bersih, dan permukiman layak. Pendeknya, kita berpijak pada bumi yang sama, selaiknya kewajaran dan kewarasan hidup bersama mesti dijaga.

Ahmad Erani Yustika 
Ekonom Universitas Brawijaya dan Direktur Eksekutif Indef

Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011328050