Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 07 Januari 2015

PK untuk Keadilan (M Ali Zaidan)

SIKAP berhati-hati eksekutor untuk mengeksekusi beberapa terpidana mati merupakan tindakan bijaksana dan harus diletakkan dalam konteks penegakan hukum yang adil. Peninjauan kembali pada hakikatnya tidak menunda pelaksanaan hukuman. Namun, karena keputusan ini menyangkut nyawa manusia, kehati-hatian merupakan keniscayaan.

Hukuman mati merupakan suatu dilema dalam penegakan hukum. Eksistensinya selalu menimbulkan kontroversi. Oleh karena itu, sikap negara-negara di dunia terbelah menjadi dua: ada yang tetap mempertahankan (kelompok retensionis), banyak juga yang telah menghapuskannya (kelompok abolisionis), baik untuk kejahatan tertentu maupun untuk semua kejahatan.

Belanda yang menjadi cikal bakal hukum Indonesia telah menghapuskan hukuman mati pada 1870, kecuali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer. Akan tetapi, ironisnya, wetboek van strafrecht yang diberlakukan di tanah jajahan, eksistensi hukuman mati justru dipertahankan. Alasannya, hukuman mati, terutama untuk kasus pembunuhan berencana (moord), didasarkan pada pertimbangan keadaan khusus Hindia Belanda yang menghendakinya.

Namun, setelah kemerdekaan, beberapa ketentuan hukum positif memberikan pengaturan tentang hukuman mati. Sebutlah dalam UU senjata api dan bahan peledak, UU pemberantasan kegiatan subversi maupun narkoba hingga terorisme, hukuman mati merupakan salah satu yang diancamkan terhadap delik-delik yang disebutkan di atas.

Terpidana mati yang menurut rencana hendak dieksekusi oleh kejaksaan terdiri atas dua golongan besar, yakni karena kasus narkotika dan pembunuhan berencana, di samping terorisme. Kedua jenis delik ini merupakan delik yang berdampak serius bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Pembunuhan berencana merupakan ancaman terhadap eksistensi masyarakat, sementara narkotika tergolong kejahatan yang membahayakan kelangsungan negara. Tentang kejahatan narkotika, sikap kita jelas: menyatakan perang dan tidak ada ampun bagi mereka yang melanggar.

Tidak identik

Pengajuan peninjauan kembali (PK) lebih dari satu kali merupakan praktik penegakan hukum. Rambu-rambu di KUHAP telah tegas menyatakan upaya hukum itu hanya dapat dilakukan satu kali. Ketentuan itu dimaksudkan agar putusan hakim yang telah final tidak mentah kembali, nasib terpidana tak terombang-ambing karena menunggu begitu lama eksekusi hukuman, begitu juga korban akan mendapat keadilan karena pelaku telah dihukum.

Permohonan PK lebih dari sekali disebabkan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam permohonan uji materi yang dilakukan Antasari Azhar. Namun, ada yang menuding putusan MK No 34/PUU-XI/2013 itu merupakan biang keladi ketidakpastian hukum saat ini.

Padahal, kalau kita mau jujur dan sedikit jernih berpikir, dikabulkannya permohonan Antasari disebabkan ada beberapa alat bukti yang tak dipertimbangkan secara maksimal. Apabila alat bukti dimaksud diperiksa, putusan yang dijatuhkan akan jadi lain. Untuk maksud itulahHerziening atau PK diatur dalam UU. Novum yang dipersyaratkan harus telah ada lebih dahulu ketika pemeriksaan di sidang pengadilan dimulai. Misalnya ada saksi kunci yang tidak diperiksa, atau alat bukti yang tidak dipertimbangkan secara patut (onvoldoende gemotiveerd). Dengan demikian, potensi cacatnya putusan menjadi besar. Untuk memberikan keadilan kepada pelaku, PK merupakan jalan keluarnya.

Berbeda dalam kejahatan narkotika, apabila unsur obyektif dan subyektif tindak pidana telah terpenuhi dan hakim yakin akan kesalahan terdakwa, putusan dapat segera dijatuhkan. Celah untuk mendapatkan novum menjadi semakin sempit. Kecuali kalau terjadierror in persona ataupun error in objecto, PK merupakan pintu keluar dari peradilan sesat tersebut.

Apabila sebaliknya, PK merupakan taktik terpidana untuk mengulur-ulur eksekusi hukuman sekaligus petunjuk bahwa yang bersangkutan tidak mengindahkan hukum. Dalam keadaan demikian itu, kewibawaan negara menjadi taruhannya. Mengidentikkan PK dalam kasus Antasari dengan kasus narkotika yang telah in kracht van gewijsde zaak tetapi masih mengajukan PK berkali-kali merupakan tindakan yang tidak adil sebab keduanya tidak identik.

Dibatasi atau tidak pengajuan PK tidak prinsipiil, karena yang perlu dihadirkan adalah keadilan dalam proses hukum tersebut. Apabila cara mengadili telah dilaksanakan,code of conduct diindahkan, penegak hukum, terutama hakim, tak perlu lagi ragu-ragu menjatuhkan putusan. Begitu juga eksekutor (jaksa), apabila upaya hukum telah ditempuh dan tak ada pelanggaran hukum dalam proses peradilan sebelumnya, tindakan mengulur-ulur eksekusi hukuman bisa dituding publik sebagai ketidaktegasan. Ketegasan harus diikuti kecermatan dalam batas-batas manusiawi. KUHAP ketika disahkan tahun 1981 telah menyadari kebenaran sesungguhnya itu adalah milik Tuhan. Penegak hukum hanya dapat mengusahakan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil.

Apabila materiele waarheid itu telah dicapai dan tidak ada keraguan terhadapnya, eksekusi hukuman tidak usah ditunda lagi, sesuai dengan moto justice delayed is justice denied. Penegak hukum tidak boleh memperhatikan hak-hak terpidana saja, tetapi harus juga memperhatikan hak-hak korban dan masyarakat keseluruhan akan tuntutan tegaknya keadilan. Apabila due process of lawtelah dilaksanakan; begitu juga hak-hak tersangka/terdakwa telah dipenuhi, itu berarti bahwa putusan yang telah dijatuhkan merupakan putusan yang sah dan eksekusinyaconditio sine qua non demi menjaga martabat pengadilan dan kewibawaan negara.

Kalau hakim di Inggris dengan lantang menyatakan Anda dihukum bukan karena mencuri domba, melainkan agar domba lain tidak dicuri, maka hal yang sama juga dapat dikatakan: Anda dihukum bukan karena mengedarkan narkoba, melainkan untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran akibat narkoba.

M Ali Zaidan Dosen Ilmu Hukum UPN "Veteran" Jakarta; Mantan Anggota Komisi Kejaksaan

Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010924404 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger