Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 30 Januari 2015

TAJUK RENCANA Lembaran Hitam Sejarah Manusia

SEMUA bersepakat, seluruh peristiwa di kamp Auschwitz- Birkenau, Polandia, 70 tahun lalu, merupakan lembaran hitam sejarah manusia.

Di tempat itulah, 70 tahun lalu, terjadi penyiksaan yang kedahsyatannya dilukiskan sebagai di luar bayangan orang waras, oleh Nazi pimpinan Hitler, terhadap 1,1 juta orang. Semua korban tewas Nazi, menurut catatan, mencapai 11 juta orang, dengan 6 juta di antaranya orang Yahudi.

Oleh karena itu, sangat pas kalau Presiden Polandia Bronislaw Komorowski saat upacara peringatan 70 tahun pembebasan Auschwitz mengatakan, "Kita berada di tempat peradaban (manusia) runtuh."

Kekejaman Nazi Hitler, memang, telah melempar manusia ke dasar paling bawah peradaban. Yang mereka lakukan adalah memberikan gambaran betapa ganasnya manusia dan tidak beradabnya manusia.

Tragedi Auschwitz itulah yang mendorong PBB melahirkan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Deklarasi tersebut merupakan jawaban atas tragedi kemanusiaan itu, dengan harapan ketidakberadaban seperti itu tidak akan diulangi lagi.

Akan tetapi, kini kita menyaksikan atau sekurang-kurangnya membaca catatan sejarah bahwa manusia seperti tidak pernah belajar dari sejarah. Sebab, kasus pelanggaran HAM, kasus tindakan yang di luar batas kemanusiaan, masih terjadi di mana-mana dalam berbagai tingkatan. Sebut saja di Tiongkok, Kamboja, Etiopia, Nigeria, Rwanda, Guatemala, bekas Yugoslavia, Suriah, Irak, Libya, Myanmar, Mesir, termasuk Indonesia, dan banyak lagi di negara lain, baik dilakukan oleh negara maupun oleh kelompok orang.

Kita menyaksikan bahwa kekerasan, kejahatan terhadap kemanusiaan atas nama apa pun—apakah itu atas nama politik, agama, ekonomi, atau kebudayaan—terus terjadi, terus dilakukan. Mengutip pendapat filsuf politik Hannah Arendt, telah terjadi banalisasi kejahatan, kejahatan menjadi biasa. Kejahatan dilakukan oleh negara atau orang- orang tanpa ada perasaan bersalah. Orang membunuh orang, tetapi tidak merasa membunuh, atau menghilangkan seorang pribadi hanya merasa menyingkirkan seorang musuh.

Musuh didefinisikan sebagai pihak yang berseberangan dengan saya, kami, kita. Mereka yang tidak sepaham adalah musuh. Status musuh itu sudah cukup untuk mengobarkan fanatisme yang tak jarang berujung pada pembunuhan. Hal itulah yang kini kita hadapi.

Tentu, kita bersepakat untuk tidak mengulang tragedi Auschwitz dalam bentuk apa pun; kita tidak ingin menambah lembaran hitam sejarah manusia. Yang kita inginkan adalah hidup berdampingan secara damai, saling menghormati, menghormati hak-hak asasi manusia. Itulah tugas kita bersama saat ini.

Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011696285 


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger