Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 10 Januari 2015

TAJUK RENCANA Perang Total Lawan Narkoba

SAMPAI nyinyir kita ingatkan bahaya dan akibat buruk narkoba. Selalu bibir belum terkatup, muncul kasus baru yang lebih mengerikan.

Gagalnya penyelundupan 800 kilogram sabu senilai Rp 1,6 triliun di Jakarta Barat, selisih beberapa hari setelah musikus kondang Fariz RM tertangkap sebagai pencandu, dua contoh aktual. Slogan "muda narkoba, tua sengsara, mati masuk neraka" tidak digubris.

Sudah ada perhatian pemerintah. Pemidanaan bagi pengedar dan proyek rehabilitasi bagi pencandu. Tetapi seolah-olah nasibnya seperti slogan antinarkoba. Dicibirkan. Karena itu, ketika pemerintah memberikan grasi kepada tervonis penjahat kasus narkoba, ketika tercium bau kongkalikong antara penegak hukum dan pelaku, spontan masyarakat mencercanya sebagai setengah hati.

Penegasan Presiden Joko Widodo bahwa tidak ada grasi atau pengurangan hukuman bagi terpidana narkoba sifatnya imperatif. Perintah tindakan tegas. Dalam kasus terpidana mati yang harus dieksekusi pada akhir Desember 2014—belum terlaksana sampai awal tahun ini—ketika permohonan grasi kasus narkoba hanya bisa satu kali diajukan, sebenarnya tak ada lagi hambatan lain.

Eksekusi hukuman mati secara etis masih pro dan kontra. Namun, ketika peradilan Indonesia masih memberlakukan hukuman mati sebagai hukuman tertinggi—dan bisa dilaksanakan—pelaksanaannya didasarkan atas dua prinsip. Prinsip keselamatan banyak orang dan prinsip akuntabilitas praksis pemerintahan.

Dibandingkan pengedar, apalagi bandar narkoba—lingkupnya bahkan dalam bentuk sindikat internasional—beban "kesalahan" pencandu jauh lebih ringan. Dalam konteks tertentu, penyalah guna adalah korban. Biang keladi dan penyebab utama adalah pengedar dan bandar narkoba. Karena perbedaan peranan dan posisi itu, penyalah guna sejauh tidak ikut mengedarkan layak direhabilitasi. Sementara pengedar dan bandar dipidana dengan tingkat kesalahan berjenjang.

Berseru-seru tentang 4,2 juta warga Indonesia pencandu narkoba, setiap hari 50 warga Indonesia meninggal—berarti setiap jam dua orang mati sia-sia—tidak menggentarkan kepedulian kerusakan peradaban bangsa ini.

Bobot ajakan darurat nasional narkoba tidak lebih dari ajakan sumonggo kerso, bukan imperatif-perintah, apalagi built-in dengan keseharian kita. Ketegasan Singapura dan Malaysia dalam pemberantasan narkoba hanya dikagumi dengan embel-embel "kita lain, kok".

Ketegasan pemerintah, kunci master-nya. Kita dukung upaya yuridis berikut eksekusi atas kasus-kasus kejahatan narkoba. Kita dukung target pemerintah merehabilitasi 100.000 pencandu narkoba selama tahun 2015. Kebijakan itu sejalan dengan amanat UU No 35/2009. Baru sebagian kecil, memang! Senyampang belum semakin terlambat, ketika proyek rehabilitasi dilakukan swasta, rencana ini salah satu jurus perang total melawan narkoba.


Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011287821 


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger