Sisa penggalan adagium di atas adalah …"kasih anak sepanjang hasta". Fenomena kasih adalah agregat dari pe
Seorang ibu agar anak-anaknya bahagia rela berkorban melakukan apa saja disertai doa, mati raga (tirakat), serta menyangkal diri terhadap hasrat dan kenikmatan pribadi (
Metafora, rangkaian ungkapan analogis di atas, daya getarnya merembet ke sanubari Megawati saat menetapkan Joko Widodo sebagai calon presiden PDI-P 2014. Keputusan tersebut merupakan peristiwa fenomenal yang akan dipahat dalam sejarah politik Indonesia. Keputusan bukan tanpa risiko mengingat Jokowi "bukan siapa-siapa", bukan pengurus partai, apalagi lingkaran dalam Megawati. Pilihannya mengundang polemik, kontroversi, dan kerisauan di internal PDI-P. Gejolak internal tersebut dapat dipahami mengingat banyak kader PDI-P yang merasa telah berjasa dan berkorban "berdarah-darah" selama 10 tahun sebagai partai "oposisi" menganggap diperlakukan kurang adil oleh ketua umumnya.
Namun, Megawati tetap kukuh terhadap pilihan politiknya. Ia memilih Jokowi sebagai capres 2014 untuk kepentingan yang lebih besar dan dilandasi sikap mulia. Ia ingin PDI-P mempunyai peran sentral dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera. Maka, PDI-P harus menjadi pemenang Pemilu Legislatif 2014. Ambisi politik Megawati
Namun, karena kasih anak hanya sepanjang hasta, tidak sedikit para kadernya belum ikhlas menerima keputusan Megawati yang amat mulia itu. Terlebih, sebagai ibu yang baik, getaran kasih Megawati dirasakan oleh anak-anaknya sehingga setiap kadernya merasa sama dekatnya, dan bersamaan dengan itu, mereka merasa pula paling disayang. Akibatnya, muncul rasa iri, diperlakukan kurang adil, dan sebagainya. Tidak sedikit kader PDI-P menganggap lingkaran dalam Istana justru bukan kader PDI-P, melainkan orang luar yang dianggap membatasi akses mereka kepada Jokowi.
Dinamika politik beberapa minggu terakhir ini menunjukkan suhu politik merambat semakin memanas. Isu sentralnya diawali dari pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri yang kontroversial. Temperatur politik semakin memanas setelah KPK menetapkan Budi Gunawan menjadi tersangka. Pro dan kontra semakin meningkat.
Sederhananya, pihak Istana merasa kurang nyaman dengan calon Kapolri yang cacat etika dan kepatutan, sementara kubu PDI-P menganggap pencalonan itu sah menurut hukum, apalagi Komisi III DPR telah menyetujui. Isu semakin mengkhawatirkan karena sudah memasuki isu "pertarungan" antara KPK dan kepolisian. Bahkan, beberapa kader PDI-P melakukan kritik yang sangat tajam dan langsung terhadap kepemimpinan Jokowi.
Dalam sengkarut politik yang semakin sulit diurai, peran Megawati sebagai negarawan serta ibu dari kubu Istana dan PDI-P sekaligus sangat penting. Perilaku sementara kader-kader PDI-P dapat dimengerti, tetapi jika dibiarkan dapat menjadi bola liar dan akan sangat merugikan PDI-P. Lebih dari itu, rakyatlah yang paling dirugikan karena politik bukan lagi ranah yang mulia, melainkan sekadar medan pertarungan hasrat kuasa (
Oleh karena itu, saat negara dilanda kemelut politik dan ketidakpastian (
Peneliti Senior CSIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar