Sikap itu diekspresikan dengan pernyataan kurang terpuji Perdana Menteri Australia Tony Abbott. Ia mengungkit-ungkit pemberian bantuan saat bencana tsunami menerjang wilayah Aceh 10 tahun lalu. Pernyataan yang tidak elok tersebut membuat rakyat Aceh tersinggung.
Selain itu, pemerintah dan masyarakat Australia juga melakukan kampanye "boikot Bali" sebagai bentuk penolakan terhadap rencana eksekusi mati dua warganya yang tertangkap sebagai pengedar narkoba. Akibat aksi tersebut, sejumlah agen perjalanan di Australia melaporkan adanya penurunan penjualan tiket pesawat ke Bali. Apakah hal ini berarti Australia lebih melindungi gembong narkoba daripada menjaga hubungan dengan negara tetangga yang semestinya saling menghormati.
Dalam bidang perdagangan, Pemerintah Australia pada 2011 juga pernah melakukan atau mengancam melakukan embargo ekspor sapi hidup ke Indonesia. Alasannya cukup klasik: penanganan pemotongan sapi di Indonesia dianggap tidak memerhatikan kesejahteraan hewan (
Padahal, di balik itu semua, ada keinginan yang mungkin tersembunyi. Ekspor sapi hidup ke Indonesia dianggap merugikan karena Australia tidak dapat lagi mengekspor sapi tua/afkir yang bobotnya melebihi ketetapan Pemerintah Indonesia (di atas 350 kg). Dengan embargo sapi hidup, mereka berharap hanya akan mengekspor daging dan mungkin sebagian besar akan dicampur dengan daging sapi tua yang tidak mereka konsumsi.
Namun, seperti kita ketahui, antara peternak Australia, para eksportir-importir, dan pelaku bisnis sapi di kedua negara hampir tidak terganggu oleh isu-isu politik. Mereka justru selalu berupaya untuk saling mendukung dan bekerja secara profesional.
Indonesia sebagai pasar sapi bakalan bagi peternak sapi di bagian utara Australia adalah mitra dagang istimewa dan penting. Ketika musim kering tahun lalu, misalnya, para peternak terpaksa membunuh ribuan sapi mereka yang kekurangan pakan dan air. Bahkan, beberapa peternak ada yang berusaha bunuh diri karena tidak bisa memberi makan ternaknya dan tidak dapat menjual sapi-sapinya yang kelaparan ke Indonesia.
Politik dan dagang sapi di antara kedua negara kadang-kadang sulit dipisahkan. Bahkan, di dalam negeri, kita pun sering menggunakan istilah politik dagang sapi. Namun, di balik itu semua, kita harus menjadikan hal tersebut di atas sebagai momentum untuk meyakinkan diri kita bahwa mewujudkan kedaulatan dan kemandirian untuk memproduksi daging sapi adalah suatu keharusan. Kapan waktunya, bergantung pada kemauan dan peluang yang memungkinkan.
Saat ini kita terbuai pasokan daging dan sapi bakalan dari Australia. Puluhan triliun rupiah devisa kita terkuras setiap tahun dan hal tersebut sudah berjalan puluhan tahun. Dengan demikian, jumlah devisa kita yang terkuras dibandingkan dengan bantuan mereka ketika membantu Aceh ketika terkena tsunami sangatlah tidak sebanding.
Pertanyaan selanjutnya, mungkinkah kita mewujudkan swasembada daging sapi secara berkelanjutan seandainya Australia melakukan embargo? Pertanyaan ini selalu menjadi bahan diskusi dan perdebatan sejak 10-15 tahun lalu. Pencanangan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2000-2005 diganti dengan PSDS-2010
Data populasi ternyata menjadi salah satu hal yang selalu diperdebatkan karena akan menyangkut kebijakan kuota impor. Ketika impor daging dan sapi hidup berlebihan dan mencapai puncaknya pada 2010, harga sapi di dalam negeri jatuh dan peternak lokal banyak yang bangkrut. Sebaliknya, ketika mendadak impor dibatasi, mengakibatkan terjadi pengurasan sapi lokal dan banyak sapi betina produktif dan sapi-sapi muda/kecil yang dipotong secara berlebihan. Akibatnya, populasi sapi turun secara drastis di beberapa sentra produsen sapi, seperti di Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, dan Jawa Tengah.
Upaya apa saja yang masih mungkin dilakukan untuk mengatasi hal tersebut? Sudah saatnya kita konsentrasi pada upaya peningkatan populasi sapi secara nasional walaupun untuk beberapa wilayah justru dilakukan pembatasan karena kurang pakan. Beberapa wilayah "gudang ternak" di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Jawa saat ini sangat padat, tetapi sering mengalami kesulitan pakan saat kemarau.
Di wilayah ini populasi sapi tidak harus ditingkatkan, bahkan jika perlu justru dikurangi sesuai daya tampungnya. Sapi betina produktif yang sering dipotong di daerah ini dapat didistribusikan ke wilayah lain yang berlimpah pakan, seperti daerah perkebunan kelapa sawit di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Relokasi sapi ini harus dilakukan dengan pendekatan bisnis, dan pemerintah memfasilitasi dengan instrumen dan insentif bagi pihak-pihak terkait.
Di wilayah "gudang ternak", sapi harus ditingkatkan produktivitasnya dengan memanfaatkan sumber daya lokal secara optimum dan didukung aplikasi teknologi tepat guna. Di antaranya dengan membangun
Pengembangan sapi dengan sistem integrasi sawit-sapi merupakan model yang paling efisien di dunia. Sebab, di kawasan ini tersedia biomassa yang berlimpah. Jika pada tahap awal sapi disebarkan dengan tingkat kepadatan satu sapi untuk setiap 2 hektar kebun kelapa sawit, dapat dibayangkan berapa juta sapi yang dapat ditampung.
Sistem pemeliharaan dengan pendekatan
Ancaman kemungkinan embargo Australian harus dijadikan momentum dalam melakukan penataan pembangunan peternakan sapi jangka panjang ataupun jangka pendek.
Kerja sama yang sudah terbangun di antara pelaku usaha perlu terus dijaga sekaligus untuk mencegah pengurasan sapi secara berlebihan. Secara bertahap, populasi, produktivitas, dan produksi daging di dalam negeri terus ditingkatkan dengan dukungan teknologi, program, dan kebijakan yang tepat.
Forum Komunikasi Profesor Riset Kementerian Pertanian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar