Studi Mashashi Nishira,
Apa pasal Golkar justru menjadi kekuatan "kanan"? Jawabannya: "Kebetulan sejarah" dan struktur kontestasi politik tipikal yang dilahirkannya. Dalam konteks pertama, sejak kehancurannya akhir 1920-an dan kegagalan pemberontakannya di Madiun pada 1948, kekuatan "kiri" mulai bangkit sejak Januari 1951, ketika empat serangkai (DN Aidit, MH Lukman, Njoto, dan Sudisman) mengambil alih kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak itu, catat Rex Mortimer dalam
Kedua, inilah yang melahirkan struktur kontestasi politik "segitiga" tipikal masa itu: PKI yang "kiri", Soekarno yang "tengah"(?), dan AD yang "kanan". Karena terdesak, AD sebagai kekuatan "kanan" merapat kepada golongan fungsional itu. Tindakan inilah yang disebut sejarawan senior, Taufik Abdullah, dalam
Sifat "kanan" Golkar, dengan demikian, adalah "hasil sampingan" struktur kontestasi politik tipikal Indonesia masa itu.
Kesintasan Golkar selanjutnya ditentukan sifat "kanan" ini. Mengapa? Karena yang tampil pascarezim Soekarno pada 1967 juga bersifat "kanan", yaitu rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang mendasarkan diri pada asumsi pertumbuhan ekonomi dan menstransformasikan diri menjadi
Sebagai
Inilah konteks, mengapa Golkar menjadi partai politik berlandaskan modal- material. Dalam arti, eksistensi Golkar tak bisa dipertahankan tanpa memiliki akses ke dalam sumber-sumber kekayaan. Di samping sokongan modal dari klien negara, Golkar "memiliki" sumber kekayaan tetap: Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN). Kekayaan ini terdistribusikan ke seluruh Indonesia dalam bentuk pembangunan sarana fisik: gedung, infrastruktur publik, lembaga-lembaga pendidikan, pusat-pusat kesehatan, dan lain-lain.
Walau secara resmi distribusi kekayaan ini adalah realisasi tugas negara, secara politik berarti
Akan tetapi, proses dan hasil pembangunan fisik itu secara sepihak diindentikkan dengan keberhasilan "pembangunan Golkar". Di sini, sebagai elemen
Pada saat yang sama ada proses lain yang berkinerja melalui kewenangan negara yang menentukan watak Golkar pasca-Soeharto. Ini terungkap dari dialog-dialog Ginandjar Kartasasmita dalam bukunya
Oleh karena itu, ketika Ginandjar memegang wewenang negara, baik sebagai Menteri Muda untuk Promosi Produk Dalam Negeri awal 1980-an, Ketua BKPM (1985-88), maupun Menteri Pertambangan dan Energi (1988-93), ia memanfaatkan fungsi
Tindakan "memihak" salah satu elemen negara pada 1980-an inilah yang memunculkan kaum konglomerat "pribumi", di mana Aburizal Bakrie menjadi tokoh paling menonjol. Tanpa Ginandjar, mungkin tak pernah ada konglomerat "pribumi". Sebab, pada 1974, Menteri Perdagangan Radius Prawiro, dikutip Robison, dengan tegas menyatakan bahwa negara tidak akan menolong pengusaha "pribumi" melalui fasilitas. "
Namun, di dalam konteks politik, tindakan Ginandjar ini adalah "pemihakan ganda". Meski tak ada yang menyanggah bahwa mereka adalah "pribumi", tak ada juga yang menyanggah sebagian besar mereka adalah anggota Golkar. Inilah yang menentukan watak Golkar pasca-Orde Baru, yakni ketika kontrol negara melemah, kaum konglomerat reproduksinya, yang telah telanjur besar dan mengontrol kekayaan dengan otonom, memanfaatkan kekayaan itu untuk mengusai kekuasaan politik. Inilah yang terjadi di dalam Golkar di bawah Jusuf Kalla (2004-2009) dan Aburizal Bakrie (2009-2015) ketika kekayaan mendominasi partai itu.
Perkembangan ini tentu problematik terhadap Golkar dan dunia politik Indonesia. Politik berdasarkan pada kekayaan menciptakan kepemimpinan oligarki. Ini membuat Golkar mandek karena secara struktural rotasi kepemimpinan bergulir pada tokoh atau golongan yang sama dan menghalangi lahirnya pemimpin muda idealis dan reformis. Akibatnya, kualitas kader yang tereproduksikan jenis kepemimpinan ini hanya sekelas pengikut. Dan, yang terpenting, semua ini menghalangi transformasi orientasi ke arah partai didasarkan dukungan rakyat.
Inilah alasan struktural reformasi Golkar, yaitu keharusan membongkar kepemimpinan berdasarkan kekayaan guna memberikan jalan terciptanya partai didasarkan dukungan rakyat. Yang diperlukan untuk itu adalah sebuah peralihan kepemimpinan yang lebih otentik, reformis, dan demokratis. Otentisitas ini hanya terjadi jika pemimpin Golkar jatuh kepada kader-kader muda yang belum berkubu dan bergelimang efek destruktif politik berdasarkan kekayaan.
Apa arti reformasi Golkar ini bagi dunia politik Indonesia? Di sini kita harus mencermati sistem politik Indonesia pasca-Orde Baru hingga masa Jokowi dewasa ini, yaitu ketakseimbangan pola interaksi peran dan fungsi antara lembaga-lembaga eksekutif, kepresidenan (termasuk kabinet), dengan legislatif DPR dan DPD, serta yudikatif (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) dengan partai-partai politik. Ketakseimbangan ini terdapat pada fakta bahwa tanpa diisi kalangan yang direproduksikan partai-partai politik, lembaga eksekutif dan legislatif (terutama DPR) adalah "tempat kosong". Partai-partai politik, dengan demikian, adalah kekuatan riil politik yang kekuasaannya menyelusup ke dalam jantung wewenang negara. Meski Megawati atau Surya Paloh tak punya kekuasaan resmi dalam negara, sebagai "pemilik partai" (PDIP-P dan Nasdem), keduanya bisa mendesak presiden menempatkan orang pilihan dalam kabinet atau mengganti wakilnya di DPR.
Karena gugus kekuasaan di dalam sistem politik dewasa ini didominasi Golkar dan PDI-P, secara teoretis keputusan-keputusan resmi negara adalah cerminan ekspresi kehendak keduanya. Dalam konteks Golkar, dengan para pemilik modal yang dominan di dalamnya, maka saluran ekspresi kekuasaan ke dalam lembaga-lembaga itu bersifat
Potensi gabungan ekspresi kekuasaan
Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar