Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 17 Februari 2015

Jokowi Diuji, KPK Diamputasi (Refly Harun)

Presiden Joko Widodo menghadapi ujian mahadahsyat setelah permohonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan untuk melantik Budi Gunawan sebagai Kepala Polri akan deras ke arah Jokowi.

Presiden akan terus ditimpa dilema antara melantik dan tidak melantik Budi Gunawan (BG). Andai permohonan BG ditolak, mudah sekali bagi Jokowi untuk mengajukan calon baru Kepala Polri. Jika ditangkap sinyal yang diberikan Jokowi dalam beberapa kesempatan, antara lain penundaan pelantikan melalui keputusan presiden pada 16 Januari dan telepon kepada Ahmad Syafii Maarif, sangat jelas bahwa arah Presiden adalah tidak melantik BG.

Namun, Jokowi terus diimpit arus kuat Koalisi Indonesia Hebat, yang dimotori oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang menginginkan agar BG tetap dilantik. Dengan memainkan politik beli waktu (buying time), Jokowi berlindung di balik dalih menunggu putusan praperadilan.

Kini, setelah Senin (16/2) kemarin, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan BG dengan menyatakan penetapan tersangka BG tidak sah, apakah tidak ada pilihan selain melantik BG? Sebelum menjawab pertanyaan ini, penting diulas dulu putusan praperadilan yang disidang dan dibacakan hakim tunggal Sarpin Rizaldi.

Menguji UU

Sejak awal permohonan praperadilan diajukan oleh BG, kritik deras bertubi-tubi datang bahwa praperadilan tidak dapat mempersoalkan status tersangka. Yang dapat diajukan kepada praperadilan, menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), adalah (1) sah tidaknya penangkapan atau penahanan, (2) sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, serta (3) ganti rugi dan rehabilitasi yang perkaranya tidak diajukan ke persidangan.

Ganti rugi juga dapat diberikan bagi seseorang yang dikenai tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang. Tindakan lain yang dimaksud dalam KUHAP adalah pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan yang tidak sah, dan penahanan tanpa alasan.

Mereka yang beraliran progresif, bahwa hukum tidak sekadar di atas kertas (on the paper), tetapi hidup dalam praktik (law in action), akan menyatakan hakim bisa menyidangkan perkara ini. Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya. Hakim justru harus menggali keadilan dalam masyarakat. Hakim harus menemukan hukum apabila yang tertulis tidak mengatur.

Klaim ini tidak keliru jika memang terjadi kekosongan hukum untuk mempersoalkan hal-hal yang dipersoalkan BG. Dalam konteks ini, tidak ada kekosongan hukum. Segala argumentasi BG sesungguhnya bisa disampaikan di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor). Praperadilan, dengan hakim tunggal dan putusan dibatasi waktu tujuh hari, harusnya menahan diri untuk tidak masuk lebih jauh dari mandat yang diberikan undang-undang. Apabila masuk lebih jauh, praperadilan akan mengambil alih kewenangan pengadilan lain.

Apa yang dilakukan hakim Sarpin ternyata tidak sekadar membuka pintu mempersoalkan status tersangka. Ia juga menyentuh substansi perkara yang mestinya menjadi wilayah pengadilan tipikor. Bahkan, jika menyimak secara jeli, hakim Sarpin juga telah menafsirkan undang-undang dan membatasi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut putusan hakim Sarpin, KPK tidak berwenang menyidik perkara BG karena BG bukan penegak hukum dan penyelenggara negara ketika kasus yang disidik terjadi. Saat itu, BG menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri. Pernyataan bahwa BG bukan penegak hukum dan penyelenggara negara disimpulkan dengan menganalisis dan menafsirkan sejumlah ketentuan undang-undang. Hingga titik ini, bukan prosedur lagi yang dinilai hakim Sarpin, melainkan sudah substansi undang-undang.

Hakim Sarpin telah menggantikan tidak saja peran pengadilan tipikor, tetapi juga kewenangan Mahkamah Konstitusi ketika menafsirkan ketentuan undang-undang. Salah satunya ketentuan undang- undang soal ruang lingkup kewenangan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU No 30/2002 tentang KPK. Kesimpulan hakim Sarpin: KPK tidak berwenang menyidik BG. Sang hakim telah mengamputasi kewenangan KPK.

Putusan hakim Sarpin akan menjadi lonceng kematian bagi pemberantasan korupsi jika tidak diajukan perlawanan dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Semua tersangka korupsi akan berduyun-duyun mengajukan gugatan praperadilan, yang bisa diputus dalam jangka waktu tujuh hari hanya dengan hakim tunggal. KPK akan sibuk melayani gugatan-gugatan ini, yang sudah pasti akan menguras energi KPK, padahal masih ratusan kasus yang mengantre untuk diselesaikan.

Melalui forum ini, saya termasuk yang mengimbau agar KPK segera mengajukan PK ke MA. Peluang untuk itu cukup
besar karena MA pernah membatalkan putusan praperadilan yang mempersoalkan status tersangka dalam kasus Chevron. Bahkan, hakim yang memutus perkara itu dikabarkan diberikan sanksi karena telah memutus sesuatu yang di luar kewenangannya.

Prerogatif Presiden

Putusan hakim Sarpin juga makin memojokkan posisi Jokowi. Tuntutan untuk melantik BG akan semakin deras dengan alasan sudah tidak menjadi tersangka lagi. Kubu yang menyatakan Presiden Jokowi melanggar konstitusi dan undang-undang apabila tidak melantik BG akan makin deras dan di atas angin.

Kendati begitu, saya sepenuhnya sepakat dengan pendapat Prof Mahfud MD bahwa Jokowi tetap memiliki ruang untuk tidak melantik BG jika memang menginginkannya. Sesaat setelah putusan BG selesai dibacakan, mantan Ketua MK itu menelepon saya untuk menyatakan penyesalannya terkait putusan yang dibuat hakim Sarpin. Menurut Mahfud, seandainya Jokowi tetap tidak mau melantik BG, itu tidak menjadi soal karena Presiden tetap memiliki hak prerogatif.

Dalam konteks ini, saya berpendapat, pelantikan BG sebagai Kepala Polri mengandung tiga dimensi yang dapat diperhitungkan secara cermat oleh Jokowi, yaitu (i) hak BG, (ii) hak Presiden, dan (iii) hak publik. Putusan hakim Sarpin telah menaikkan posisi tawar hak BG dalam soal pelantikan, tetapi jangan lupa bahwa jabatan Kepala Polri adalah jabatan yang dipilih berdasarkan subyektivitas Presiden. Batasannya hanyalah persetujuan dari DPR. Presiden hanya dilarang untuk melantik calon yang tidak atau belum disetujui DPR.

Berbeda halnya dengan jabatan-jabatan publik yang pemilihannya tidak ditentukan sendiri oleh Presiden, seperti jabatan komisioner KPU atau KPK yang didasarkan hasil seleksi dari tim yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Demikian pula dengan jabatan-jabatan yang dipilih langsung oleh rakyat. Terhadap yang demikian itu, Presiden tidak memiliki hak subyektif untuk tidak melantik.

Terhadap calon yang sudah disetujui DPR, Presiden masih mungkin untuk tidak melantik jika memiliki pertimbangan tertentu. Pertimbangan terhadap BG yang sah adalah bahwa putusan praperadilan tidak menghilangkan atau menghapuskan substansi akan kasus rekening gendut yang menerpa BG. Terlepas dari amputasi hakim Sarpin terhadap kewenangan KPK untuk menyidik kasus BG—karena BG dikualifikasikan bukan penegak hukum dan penyelenggara negara—secara substantif kasus yang melilit belum terkonfirmasi benar dan salahnya.

Hingga titik ini, hak publik penting untuk diperhatikan Presiden Jokowi. Dengan kewarasan dan hati nuraninya, publik pasti lebih menginginkan Kepala Polri yang tidak bermasalah dan tidak penuh kontroversi. Dengan kewarasannya pula, Presiden Jokowi tentu tetap menginginkan keberhasilan pemberantasan korupsi sesuai dengan Nawa Cita yang telah dijanjikan.

Pertanyaannya, melantik BG sebagai Kepala Polri apakah merupakan langkah untuk mewujudkan pemberantasan korupsi yang lebih baik? Sungguh, putusan hakim Sarpin bukan saja merupakan bentuk amputasi bagi KPK, melainkan ujian sulit bagi kepemimpinan Jokowi.

Refly Harun Pengamat dan Pengajar Hukum Tata Negara
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000012047822  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger