Pernyataan di atas adalah reaksi spontan dan tulus saya sebagai Menteri Kesehatan pada Kabinet Gotong Royong (1999-2004) ketika menjawab pertanyaan sejumlah pihak, khususnya anggota DPRD Papua.
Pertanyaan mereka sederhana: mengapa pemerintah pusat tidak menyetujui adanya fakultas kedokteran (FK) di Papua? Pertanyaan ini muncul berdasarkan pengalaman mereka bahwa para dokter yang datang ke Papua hanya bertugas sebentar, kemudian pergi meninggalkan Papua.
Dalam pandangan saya saat itu, putra-putri Indonesia timur, termasuk Papua, sudah selayaknya dapat kesempatan mengenyam pendidikan kedokteran yang lebih mudah dan terjangkau ketimbang harus menempuh pendidikan di tempat yang jauh, yang mungkin tak terjangkau. Mendengar jawaban saya di hadapan DPRD Papua tersebut di atas, reaksi dari Dewan sangat mengejutkan. Mereka, para anggota Dewan dan sebagian tokoh, hampir tidak memercayainya. Mereka ragu karena selama ini Jakarta hanya berjanji dan bahkan tak menyetujui hal tersebut.
Selang beberapa waktu kemudian, melalui sejumlah lobi dan upaya lainnya, jurusan program pendidikan kedokteran pun dibentuk di Universitas Cenderawasih (Uncen) dengan dibantu oleh sejumlah universitas terdekat, seperti Universitas Hasanuddin dan Universitas Samratulangi, serta Universitas Gadjah Mada. Program ini sepenuhnya dibantu dan didukung oleh Departemen Kesehatan. Walaupun tertatih-tatih, program pendidikan kedokteran ini pun berkembang menjadi FK dan bahkan ada jurusan pendukung, yakni keperawatan.
Kondisi tersebut jadi berubah setidaknya dalam dua tahun terakhir. Liputan
Jika merujuk 9 Program Nyata Jokowi-JK yang dijanjikan saat kampanye, pada butir ketujuh (bidang kesehatan) dinyatakan: "akan memberikan layanan kesehatan gratis rawat inap/rawat jalan dengan Kartu Indonesia Sehat. Membangun 6.000 puskesmas dengan fasilitas rawat inap serta air bersih untuk seluruh rakyat." Sementara janji pada butir kesembilan: "mewujudkan pendidikan seluruh warga negara, termasuk anak petani, nelayan, buruh, termasuk difabel dan elemen masyarakat lain melalui Kartu Indonesia Pintar."
Kampanye Jokowi-JK yang menekankan pada konsep paradigma sehat, yakni mengedepankan promotif dan preventif, perlu diapresiasi. Sebab, konsep ini menjadi lebih efisien dan ekonomis. Contoh sederhana: penyakit malaria, tidak mungkin hanya diobati, tetapi juga dilakukan pencegahan penularannya dengan memusnahkan sarang nyamuk, penggunaan kelambu, dan lain-lain yang sifatnya preventif.
Bandingkan dengan "paradigma sakit" yang lebih
Pada era Orde Lama ada aturan berupa UU No 8/1961 (sebagai revisi aturan sebelumnya, yakni UU No 8/1951) yang kemudian dikenal dengan wajib kerja sarjana (WKS). Intinya menyatakan penempatan dokter dan dokter gigi diatur oleh pemerintah dengan sanksi penangguhan pemberian surat izin untuk praktik.
Pada era Orde Baru, aturan WKS untuk dokter dan paramedis diperkuat Keputusan Presiden RI No 37/1991 tentang Pengangkatan Dokter sebagai Pegawai Tidak Tetap Selama Masa Bakti. Ini dimaksudkan bahwa yang mengikuti WKS telah diangkat sebagai pegawai negeri tidak tetap. Setelah masa bakti berakhir, ia dapat melanjutkan dengan diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS). Di samping menjelaskan tentang pengembangan karier, keppres ini menjelaskan juga tentang sanksi atas pelanggaran. Anggaran untuk penempatan tenaga WKS dialokasikan melalui dana Inpres. Seperti kita ketahui, pada era Orde Baru ada banyak skema Inpres, termasuk di dalamnya Inpres dokter.
Pada era reformasi terjadi perubahan dalam skema Inpres yang juga berimbas pada Inpres dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Di samping itu, diterapkannya desentralisasi dan sejumlah pemekaran wilayah menyebabkan terjadinya perubahan birokrasi di sejumlah wilayah. Sejumlah kebijakan pun berubah, menyebabkan para sarjana serta dokter dan tenaga kesehatan mempunyai haknya sendiri untuk melakukan pengabdian atau pencarian hidupnya.
Lahirnya UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan menjadikan aturan WKS tak berlaku lagi. Maka, otomatis semua sarjana—termasuk sarjana kesehatan, dokter, dan dokter gigi—tidak terikat lagi dengan aturan wajib kerja pada pemerintah. Kalau tidak ada kewajiban dokter bertugas di Papua dan lembaga yang mencetak dokter juga tak dilindungi, lantas bagaimana nasib kesehatan di Papua? Inilah yang menjadi
Tak dapat dimungkiri, kondisi FK Uncen memang jauh dari ideal, khususnya dalam melahirkan profesi dokter yang tugasnya sangat berat. Namun, usulan membubarkan FK Uncen adalah langkah sangat tidak logis. Bagi generasi saya—bahkan sebelumnya—yang menempuh pendidikan kedokteran di sejumlah universitas pada era 1960-an, kondisi, fasilitas, suasana, dan sejumlah variabel lain bisa jadi mirip dengan yang dialami FK Uncen saat ini. Namun, semangat, kemauan, dan
Pemerintahan (pusat) saat ini, pemerintah daerah di Papua, dukungan
Saya yakin, semua elemen, mulai dari FK di wilayah lain di luar Papua, institusi kesehatan, hingga lembaga profesi dan asosiasi akan dengan senang hati terlibat memberikan kontribusi terhadap niat penyelamatan pada FK Uncen. Jika semua tak lagi peduli dengan problem ini, sungguh sebuah ironi besar bagi bangsa ini di tengah wacana tentang globalisasi, emansipasi, hak asasi, dan wacana lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar