Langkah itu, di samping menghemat anggaran, juga merampingkan birokrasi yang pada ujungnya membuat pelayanan kepada rakyat menjadi lebih mudah, cepat, dan baik. Namun, langkah tersebut menjadi paradoks ketika Presiden Jokowi pada Desember 2014 justru melahirkan lembaga baru yang bernama Badan Keamanan Laut (Bakamla). Badan baru ini menambah panjangnya lembaga yang bertugas di laut. Visi maritim yang menjadi ikon pemerintahan Jokowi-JK di satu sisi memang harus diapresiasi dengan sejumlah catatan. Namun, di sisi lain harus dikritisi agar jangan sampai kebablasan.
Beberapa hal yang menjadi paradoks terkait lahirnya Bakamla adalah, pertama, lembaga ini dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Sebagaimana diatur UU No 12 Tahun 2011 tentang hierarki pembentukan undang-undang, maka perpres tak boleh bertentangan dengan UU yang jadi dasar pembentukannya, dan perpres dibuat berdasarkan UU yang memerintahkannya.
Pasal 2 Perpres No 178/2014 berbunyi, "Bakamla bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menko Polhukam". Adapun Pasal 60 UU No 32/2014 menyatakan, "Badan Keamanan Laut berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui menteri yang mengoordinasikannya".
Timbul pertanyaan, siapa sebenarnya menteri yang berhak mengoordinasikan Bakamla? UU No 32/2014 dibuat untuk menjadi pedoman bagi menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dalam membangun kelautan. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan adalah Menteri Kelautan dan Perikanan yang berada di bawah koordinasi menteri koordinator kementerian. Pola koordinasi yang "mendua" dan cenderung tidak jelas ini pada ujungnya akan menimbulkan benturan.
Kedua,
Tugas ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kewenangan antar-satuan yang beroperasi di laut. Mari kita bandingkan dengan tugas-tugas dari KPLP (Sea and Coast Guard) yang terdapat pada BAB XVII Pasal 277 Ayat 1 UU No 17 Tahun 2008 tentang pelayaran. Dinyatakan pada poin (d): pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut.
Ketiga, Bakamla bukanlah penegak hukum. Anggotanya bukan penyidik sehingga penegakan hukum atas pelanggaran terhadap UU No 32/2014 tentang kelautan tidak mutlak harus dilakukan Bakamla, tetapi dapat dilakukan satuan lain sepanjang diberikan tugas dan kewenangan oleh UU. Namun, dalam kewenangan, Bakamla dinyatakan hanya berwenang: (a) melakukan pengejaran seketika; (b) memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal kepada instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut. Lagi-lagi, hal ini menjadikan Bakamla tidak pada posisi
Keempat,
Dari empat poin di atas, sangat jelas bahwa pembentukan Bakamla menjadi sebuah paradoks, baik pada tataran koordinasi di tingkat kementerian maupun di lapangan. Paradoks lain, ketika pembentukan Bakamla dikaitkan dengan upaya pemerintahan Jokowi yang bersemangat melakukan penghematan. Dengan posisi Bakamla yang tidak jelas dalam melakukan tugasnya, bisa dibayangkan pemborosan negara, baik dihitung dari sisi anggaran belanja untuk gaji dan operasional nonteknis maupun biaya operasional teknis.
Sebagai perbandingan sederhana, Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengatakan, satu kapal perang kelas fregat dengan panjang sekitar 100 meter butuh bahan bakar solar Rp 900 juta untuk berlayar sehari penuh. Bisa dibayangkan biaya operasional kapal Bakamla nantinya (kalaupun ada, dan entah kapal itu bersumber dari mana), sementara peran dan wewenangnya tidak jelas alias mubazir.
Tak heran, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan 2009-2014 Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto pada April 2014 menyatakan bahwa belum ada ide besar untuk membentuk Bakamla. Alasannya, konsekuensi aspek legalnya masih perlu dikaji lebih dalam. Bukan hanya aspek legal, ada banyak aspek lain yang jadi indikasi bahwa Bakamla tidak diperlukan.
Kepala Badan Intelijen Strategis TNI 2011-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar