Rakyat seyogianya memberikan dukungan penuh terhadap proyek pembangunan infrastruktur yang dicanangkan Jokowi tersebut. Sebab, baik jalan tol maupun dermaga tentunya akan memberikan manfaat bagi peningkatan taraf kesejahteraan rakyat, baik langsung maupun tidak langsung.
Namun, fakta yang muncul sering kali kontras dengan prediksi dan harapan. Data empiris justru membuktikan bahwa pembangunan jalan tol merupakan proyek yang paling banyak menghadapi kendala, terutama kendala pembebasan lahan. Hampir semua proyek pembangunan jalan tol, seperti Jalan Tol Dumai-Pekanbaru, Trans-Jawa, Cibitung- Cilincing, Balikpapan-Samarinda, Serpong-Balaraja, dan Indralaya-Palembang , menghadapi masalah pembebasan lahan.
Satu-satunya proyek pembangunan jalan tol yang tidak terkendala pembebasan lahan adalah tol akses Tanjung Priok Seksi E-1 ruas Rorotan-Cilincing sepanjang 3,4 kilometer. Pembangunan tol tersebut tidak terkendala pembebasan lahan sebab lahannya telah selesai dibebaskan pada tahun 1974. Dampaknya, pembangunan tol tersebut dapat diselesaikan dua hari lebih cepat daripada alokasi waktu pembangunan yang disediakan selama 540 hari.
Sementara banyak proyek pembangunan jalan tol lain terbengkalai akibat pembebasan lahan yang tak kunjung tuntas. Sebutlah Jalan Tol Bakauheni-Terbanggi Besar sepanjang 155 kilometer yang ditender sejak 2006, tetapi sampai saat ini tidak terealisasi karena tidak ada investor yang berani berinvestasi.
Investasi di proyek jalan tol di Indonesia dianggap oleh sebagian besar investor sebagai investasi berisiko tinggi yang cenderung mereka hindari. Faktor risiko berinvestasi di jalan tol antara lain fluktuasi nilai tukar rupiah yang terkait dengan lamanya masa investasi, eskalasi biaya akibat keterlambatan pembangunan, dan market pengguna yang masih rendah. Oleh karena itu, pertumbuhan jalan tol di Indonesia jauh lebih rendah daripada di Malaysia dan Tiongkok.
Faktor yang paling krusial yang menyebabkan investasi jalan tol menjadi berisiko adalah keterlambatan pembangunan akibat tidak tersedianya lahan. Lahan untuk jalan tol tidak tersedia sebagai akibat dari tidak tuntasnya pembebasan lahan yang dilakukan lembaga pengadaan lahan yang ditugaskan.
Dari aspek pengaturan, pengadaan tanah untuk proyek jalan tol sejatinya sudah sangat lengkap. Sudah ada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang mengatur Pengadaan Tanah demi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pengaturan ini kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah demi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang kemudian diubah dengan Perpres Nomor 40 Tahun 2014, yang terakhir diubah lagi dengan Perpres Nomor 99 Tahun 2014 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelang akhir masa jabatannya.
Pada level teknis pelaksanaan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membuat Permendagri Nomor 72 Tahun 2012 yang mengatur dukungan dana dari APBD untuk Penyelenggaraan Pengadaan Tanah demi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga menerbitkan Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pengadaan Tanah.
Ditinjau dari substansi pengaturan, sebetulnya semua aspek menyangkut pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol sudah diatur oleh rangkaian aturan hukum tersebut. Namun, fakta yang terjadi, sampai saat ini pengadaan tanah untuk jalan tol menjadi isu serius yang belum dapat diatasi secara cepat dan tuntas. Salah satu implikasinya, Jalan Tol Trans-Jawa ruas Pemalang-Batang dan Batang-Semarang sampat saat ini belum dapat dikonstruksikan.
Beranjak dari berbagai pengalaman empiris di atas, sangat mungkin cita-cita Jokowi membangun Jalan Tol Trans-Sumatera dan infrastruktur lain yang dia unggulkan sebagai pilar penghela pertumbuhan akan tersendat oleh kendala pembebasan lahan. Oleh karena itu, sedari awal proyek pembangunan infrastruktur yang dicanangkan Jokowi itu seyogianya didukung strategi pengadaan tanah yang tepat, yang mampu memenuhi kebutuhan tanah yang dibutuhkannya.
Fenomena terhambatnya proyek publik oleh kendala pengadaan tanah sebetulnya baru muncul di era Reformasi. Fenomena tersebut tidak terjadi pada masa Presiden Soeharto, bahkan tidak pula muncul pada zaman kolonial Belanda.
Persoalan pengadaan tanah pada zaman Belanda tuntas hanya dengan satu aturan hukum yang disebut Agrarische Wet, yang disahkan pada 9 April 1870. Melalui Agrarische Wet, semua persoalan serta kebutuhan tanah untuk pembangunan atau investasi modal asing di Indonesia pada masa itu dapat disediakan secara tuntas dan pasti.
Kunci sukses Agrarische Wet menyediakan tanah untuk pembangunan dan investasi sebetulnya hanya satu, yaitu adanya sistem pengadaan tanah yang efektif dan efisien.
Dibandingkan sistem pengadaan tanah yang diatur Agrarische Wet
Pertama, lembaga dan wewenang untuk mengurus dan mengambil keputusan. Proses pengadaan tanah yang diatur UU Nomor 2 Tahun 2012 berikut peraturan pelaksanaannya melibatkan terlalu banyak lembaga dengan kewenangan yang tidak tegas dan tuntas. Akibatnya, proses pengadaan tanah menjadi berlarut dalam proses birokrasi Indonesia yang terkenal sangat lamban. Apalagi para birokrat saat ini umumnya bersikap terlalu hati-hati dan tidak berani mengambil risiko terkena tuduhan korupsi.
Kedua, tahapan administrasi dan proses pengadaan tanah begitu rumit sehingga memakan waktu cukup lama. Semua tahapan dihitung dan harus dilakukan pada hari kerja. Padahal, untuk tahun 2015, hari kerja birokrasi Indonesia hanya 180 hari. Artinya, lebih dari setengah tahun birokrasi Indonesia akan libur. Terkait dengan ini, sangat tipis harapan pembebasan tanah untuk Tol Trans-Sumatera dan proyek infrastruktur lain dapat dituntaskan dalam tahun 2015. Implikasinya, anggaran untuk proyek infrastruktur tersebut akan gagal terserap, yang berarti tidak akan memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, untuk mendukung percepatan realisasi pembangunan infrastruktur yang dicanangkan, ada baiknya Jokowi membentuk suatu badan khusus yang diberi wewenang menangani pengadaan tanah untuk proyek infrastruktur secara terintegrasi. Sebab, sistem dan kelembagaan yang ada sepertinya tidak kompatibel untuk menyokong kesuksesan proyek infrastruktur yang ia canangkan.
Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi; Advokat dan Konsultan Hukum BUMN; Ketua Pusat Kajian BUMN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar