Pernyataan Syafii Maarif, sebagai ketua Tim Sembilan yang dibentuk langsung oleh Presiden Jokowi, merupakan dalil yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun, termasuk para ketua parpol. Hal ini karena sekalipun Jokowi diusung oleh parpol, jika tak mendapat dukungan alias dipilih oleh rakyat Indonesia, tak akan pernah Jokowi menjadi Presiden RI pada Pemilu Presiden 2014.
Jokowi dipilih rakyat adalah kenyataan. Oleh karena itu, kekuatan legitimasi Jokowi adalah rakyat, bukan parpol karena terdapat beberapa calon yang diajukan parpol untuk menjadi kandidat presiden pada Pilpres 2014, ternyata rakyat tak mendukungnya sehingga partai pun gagal mengusungnya menjadi kandidat presiden. Telah banyak dana dikeluarkan untuk mobilisasi rakyat agar partai dapat mencalonkan, tetapi dana saja tak cukup menjadikan seseorang memiliki legitimasi kuat untuk mendapatkan dukungan rakyat.
Dari kenyataan di atas, sebenarnya pernyataan bahwa Jokowi adalah petugas partai dan tetap menjadi petugas partai merupakan pernyataan yang tidak layak keluar dari seorang pejabat (petinggi parpol) karena Jokowi adalah "milik rakyat Indonesia". Dalam bahasa masyarakat biasa, "Jokowi adalah kita", bukan lagi "Jokowi adalah partai".
Pernyataan Jokowi adalah petugas partai boleh dikatakan sebagai pernyataan kepanikan sebuah parpol yang tengah dilanda badai karena terjadi tarikan kepentingan politik dan ekonomi yang demikian hebat sehingga mengeluarkan pernyataan yang sifatnya hendak mendelegitimasi kepercayaan rakyat atas seseorang yang telah dipilihnya.
Namun, tanpa disadari dan disayangkan, pernyataan itu sebenarnya kian memperjelas wajah partai yang tak memiliki visi tentang masa depan Indonesia dan tidak memiliki wawasan politik jangka panjang para petingginya, kecuali hanya wawasan politisi "rabun ayam", yang tidak lebih dari wawasan politik lima tahunan, yakni sampai dengan pemilu berikutnya.
Tetap terjaga
Presiden Jokowi dihadapkan dengan kenyataan politik yang sangat getir, yakni munculnya konflik yang berlarut-larut tentang penetapan Kapolri dan kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berujung dilaporkannya semua pejabat KPK ke Bareskrim dengan pelbagai macam tuduhan yang sangat jelas memperlemah kinerja KPK dalam gerakan jihad memberantas korupsi di Indonesia.
Setelah ditetapkannya Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain menjadi tersangka, sekarang ini KPK menjadi sangat tak berdaya. Ketika semua pejabat KPK menjadi tersangka, di lapangan beberapa pihak ternyata mendukungBudi Gunawan (BG) menjadi Kapolri. Mereka sangat girang terlebih setelah gugatan praperadilan BG dikabulkan Hakim Sarpin Rizaldy. Sebagian anggota kepolisian melakukan ritual sujud dan berdoa.
Hal yang patut jadi kekhawatiran kita bersama adalah jika benar sebagian ahli hukum dan pengamat yang menyatakan bahwa hal itu merupakan "rekayasa politik" calon Kapolri yang gagal. Kemudian, calon Kapolri itu memanfaatkan institusi kepolisian untuk kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan lembaga demi menjaga wibawa institusi kepolisian.
Jokowi sebagai presiden pilihan rakyat sebenarnya tetap akan memiliki marwah politik dengan tiga alasan utama, yakni (1) independensi sikap dan tindakan, (2) ketegasan dan kecepatan, serta (3) kesederhanaan dan kejujuran. Namun, jika tiga hal ini tidak dibuktikan dengan terang benderang oleh Presiden dalam kepemimpinannya setelah kasus berlarut antara Polri dan KPK, rakyat yang telah bersusah payah mendukung dan memilih Jokowi akan melempar handuk tanda menyerah bahwa presiden terpilih ternyata—sebagaimana lawan politik selama ini mengatakan dengan keras—adalah presiden boneka.
Bersyukur Jokowi pada akhirnya tidak menetapkan BG sebagai Kapolri setelah terjadi kisruh yang melelahkan dan ditonton oleh rakyat pemilih. Kisruh Polri vs KPK yang berujung tak dilantiknya BG diakui atau tidak oleh para politisi adalah salah satu bukti bahwa Jokowi masih memiliki marwah politik.
Marwah politik Jokowi tetap terjaga setelah membentuk Tim Sembilan dengan ketua Syafii Maarif dan tim ini ternyata lebih didengar ketimbang "bisikan-bisikan partai" yang lebih banyak memiliki agenda politik lima tahunan ketimbang agenda menyelamatkan martabat bangsa. Jokowi dengan memilih Badrodin Haiti sebagai Kapolri telah mengambil langkah politik berisiko. Namun, itulah sebenarnya sikap tegas yang harusnya diambil Presiden sejak awal ketika BG jadi tersangka kasus korupsi.
Risiko politik
Jika Jokowi tidak lambat dalam mengambil sikap tegas untuk tidak melantik BG, agaknya konflik yang berkepanjangan antara Polri dan KPK tidak akan terjadi. Semua pilihan politik tentu memiliki risiko politik sehingga apa pun pilihan politik yang dilakukan tidak bisa seorang presiden berharap semua parpol akan mendukungnya.
Independensi Jokowi dalam kasus pemilihan Kapolri jelas dilihat rakyat Indonesia. Benarkah Presiden tidak menjadi boneka partai ataukah Presiden adalah pelayan rakyat Indonesia menjadi terang benderang. Sekarang kita mengetahui Presiden Jokowi telah berani mengambil sikap dan tindakan politik yang merdeka dengan tidak menetapkan BG sebagai Kapolri usulan bos partai.
Marwah politik Jokowi masih akan diuji dan akan dilihat rakyat pemilih dalam hal ketegasan, kecepatan, kesederhanaan, dan kejujuran. Marwah politik Jokowi benar-benar ditunggu publik. Mampukah Presiden Jokowi menunjukkan bahwa dirinya benar adanya presiden yang cepat bertindak sebagaimana citra yang selama ini dipigurakan kepada publik seperti ketika ia menjabat Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta? Juga apakah benar sikap sederhana dan jujur itu tetap terjaga dan berimbas pada kabinet dan pejabat di bawahnya?
Jika Presiden Jokowi mampu membuktikan sikap cepat, tegas, sederhana, dan jujur tersebut bukan hanya pada dirinya, melainkan juga pada para pejabat di bawahnya, marwah politik Jokowi benar-benar akan terjaga. Namun, jika nanti di tengah jalan Presiden Jokowi ternyata kembali tidak tegas, lambat, dan tidak menindak pejabat di bawahnya yang tersangka kasus korupsi dan bergelimang harta dengan jalan tidak dibenarkan secara hukum, Presiden Jokowi kembali tersandera oleh kekuatan "politisi rabun ayam" yang tidak memiliki visi membangun bangsa ini untuk lebih baik dan menyejahterakan rakyat.
Kita kembali harus ingatkan bahwa Presiden Jokowi adalah dipilih rakyat oleh karena itu harus mengutamakan rakyat, bukan mengutamakan partai sekalipun partai telah mengusungnya menjadi capres pada Pilpres 2014. Jokowi harus benar-benar memercayai bahwa marwah politik yang dimiliki itu karena rakyat, bukan karena parpol. Presiden Jokowi boleh ditinggalkan parpol yang mengusung, tetapi bukan untuk ditinggalkan rakyat yang telah memilihnya.
Presiden harus segera turun tangan jika ada masalah bangsa yang melanda, jangan dibiarkan berlarut sehingga bangsa ini semakin kusut. Jokowi harus juga tegas dalam bersikap sekalipun berisiko tak populer di hadapan parpol. Presiden harus buktikan bahwa dirinya pilihan rakyat, bukan sekadar petugas partai.
ZULY QODIR SOSIOLOG UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA DAN PENELITI INDOSTRATEGI JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Marwah Politik Presiden".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar