Banyak pertanyaan muncul, mengapa saat pemerintah mulai mengeksekusi program kerja, kepercayaan asing justru merosot. Padahal, dulu diyakini, jika pemerintahan baru sesuai preferensi pasar, rupiah akan menguat tajam.
Beberapa lembaga investasi, seperti Morgan Stanley dan Deutsche Bank, berani meramal jika Joko Widodo menjadi presiden, rupiah bakal menguat tajam. Sebaliknya, jika lawan politiknya menang, rupiah terpuruk. Tampaknya ramalan tetaplah bukan realitas. Faktanya, setelah tiga bulan berkuasa, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla harus menghadapi kenyataan sebaliknya, rupiah terpuruk paling dalam sejak krisis tahun 1998 di atas Rp 13.000 per dollar AS.
Padahal, pemerintah baru memiliki momentum sangat bagus, yaitu penurunan harga minyak dunia. Implikasinya, ruang fiskal meningkat dan belanja infrastruktur melonjak mencapai sekitar Rp 290 triliun. Kurang apa lagi? Fundamental ekonomi domestik juga relatif baik. Inflasi terus turun dan diperkirakan berada di bawah 4 persen pada akhir tahun, sementara pertumbuhan ekonomi diproyeksikan mendekati 5,7 persen.
Defisit fiskal menurun di bawah 2 persen, sementara defisit transaksi berjalan semakin sehat. Kalaupun defisit transaksi berjalan mencapai 3 persen, lebih karena kegiatan investasi yang menyedot bahan baku dan barang modal tinggi. Artinya, merupakan sinyal bagus bagi pertumbuhan ekonomi.
Akar masalah
Jika pemerintah dipimpin oleh figur yang disukai pasar dan situasi fundamental diyakini baik, mengapa rupiah terdepresiasi tajam? Di situlah letak kusutnya persoalan nilai tukar mata uang kita. Rapat koordinasi Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Kementerian Keuangan mengidentifikasi tiga hal pokok penyebab keterpurukan nilai tukar rupiah. Pertama, membaiknya perekonomian Amerika Serikat yang akan segera diikuti dengan kenaikan suku bunga (Fed Fund Rate). Akibatnya, dollar AS menguat terhadap semua mata uang dunia, termasuk rupiah.
Kedua, kebijakan pelonggaran moneter oleh Bank Sentral Eropa (European Central Bank) dan Bank Sentral Jepang (Bank of Japan) yang membuat mata uang mereka cenderung melemah terhadap dollar AS. Bahkan, ada tuduhan, mereka sengaja melemahkan nilai tukar agar ekspor meningkat. Di situlah fenomena perang nilai tukar tak bisa dimungkiri.
Ketiga, defisit transaksi berjalan kita masih dianggap rentan karena masih berada pada kisaran 3 persen. Investor membandingkan dengan India yang mampu menurunkan defisit transaksi berjalan secara drastis menuju 2 persen. Kira-kira investor berkesimpulan, Pemerintah India dianggap lebih baik bekerja ketimbang pemerintah kita.
Jika dibandingkan dengan mata uang lain, rupiah bukanlah nilai tukar yang paling terdepresiasi. Sepanjang 2014, Jepang menjadi negara paling terdepresiasi nilai tukar mata uangnya sekitar 12 persen, Brasil sekitar 11 persen, sementara Indonesia di bawah 2 persen. Namun, Jepang menikmati pelemahan nilai tukar karena akan membantu menopang neraca perdagangan mereka. Isu perang nilai tukar memang terkait upaya negara maju yang mencoba menstimulasi ekonomi riil mereka. Pertumbuhan akan kembali positif jika ekspor meningkat. Terlihat ada kaitan erat antara nilai tukar (sektor keuangan) dan kinerja ekspor (sektor riil).
Apakah pelemahan nilai tukar mendongkrak ekspor kita? Tampaknya tidak. Pertama karena struktur ekspor kita masih didominasi sektor komoditas. Dan, sekarang harga komoditas sedang jatuh. Kedua, kalaupun proporsi ekspor produk manufaktur meningkat, imbasnya impor bahan baku dan bahan penolong melonjak. Industri perantara atau penghasil bahan baku tidak berkembang di Indonesia.
Kesimpulannya, gejolak nilai tukar terkait erat dengan kelemahan mendasar industri kita. Kusutnya nilai tukar mata uang merupakan cerminan dari kusutnya sektor riil, terutama sektor manufaktur. Tanpa pembenahan sektor industri, nilai tukar akan terus terombang-ambing dalam ketidakpastian. Solusinya, sektor manufaktur kita harus kuat sehingga mampu bersaing di pasar ekspor, selain mengurangi secara gradual ketergantungan pada bahan baku impor.
Sektor keuangan
Benarkah dinamika nilai tukar semata-mata ditentukan oleh sektor industri? Tentu tidak. Sektor keuangan memberi kontribusi penting pada gejolak. Penjelasannya cukup sederhana, semakin besar ketergantungan kita pada modal asing, semakin besar pula gejolak nilai tukar. Sebab, kita menganut prinsip devisa bebas. Intervensi terhadap aliran modal selain belum tentu menjadi solusi juga tak dimungkinkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Mengapa kita begitu bergantung pada modal asing? Sebab, akumulasi modal domestik tak memadai untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Itulah yang dalam teori disebut sebagai
Rendahnya kontribusi modal domestik tecermin dari kemampuan perbankan membiayai kredit. Rasio kredit terhadap PDB pada 2012 hanya sekitar 35 persen. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah berada pada kisaran 120-an persen dan Thailand 140-an persen. Langkanya likuiditas juga tercermin dari suku bunga tinggi dibandingkan dengan negara tetangga. Tingginya suku bunga bank di Tanah Air paling tidak disebabkan dua hal pokok. Pertama, ketergantungan pada modal asing sehingga penurunan suku bunga akan mendorong pelarian modal, paling tidak sebagian. Kedua, tingginya inflasi akibat buruknya sistem logistik.
Lagi-lagi, kusutnya nilai tukar merupakan refleksi atas kusutnya persoalan perekonomian kita, terutama akibat tersumbatnya pembangunan infrastruktur. Dan, terkait dengan kompleksitas persoalan ekonomi domestik tersebut, apakah dinamika rupiah belakangan ini juga mengindikasikan semakin surutnya kepercayaan investor terhadap kemampuan pemerintah mengurai benang kusut perekonomian domestik. Terpuruknya rupiah bisa diartikan sebagai sinyal peringatan (
A PRASETYANTOKODOSEN DI UNIKA INDONESIA ATMA JAYA, JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Mengurai Benang Kusut Rupiah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar