Akhir pekan lalu, jauh dari Jakarta, sekitar 3 jam penerbangan, kami mengobrol bersama dengan Franky Kowaas, peterjun dan atlet pendaki gunung di Manado, Sulawesi Utara. Franky bercerita tentang cita-citanya untuk menjadi peraih Grand Slam Penjelajah (The Explorer Grand Slam) kedua Park Young Seok, Korea Selatan, yang menaklukkan 7 puncak dunia, 14 gunung dengan ketinggian di atas 8.000 meter, dan menyelesaikan penjelajahan di Kutub Utara dan Kutub Selatan
Ngobrol ngalor ngidul
"Terus terang saya berdua ingin meniru Pak Ahok, Gubernur DKI Jakarta. Tanpa partai yang menyokong, Ahok justru dapat berbuat sesuatu kepada rakyatnya tanpa beban. Dia berani dan membela kepentingan rakyat, bukan kepentingan partai dan golongan," katanya.
Kita mempunyai pemimpin nasional yang tak kalah populer dari Ahok, yaitu mantan Gubernur DKI Jakarta, Presiden Joko Widodo. Mengapa yang dijadikan padanan oleh Franky bukan Jokowi?
Kita masih ingat beberapa bulan lalu, Ahok berbeda pendapat dengan Partai Gerindra, pengusungnya, dalam soal pemilihan kepala daerah. Bukannya tunduk takut dengan partai pengusung, Ahok malahan menyatakan keluar dari partai. Orang menyangka tanpa partai, posisi dan sikap Ahok akan melemah. Dalam referensi politik "modern" di Indonesia yang sudah baku selama ini, kehilangan dukungan partai berarti kehilangan kekuatan politik.
Makin berani
Ahok bukannya berubah sikap menjadi takluk. Basuki Tjahaja Purnama malahan makin menjadi-jadi keberaniannya untuk menentang segala kepalsuan dan pelanggaran dalam berbagai masalah yang dia anggap tidak benar. Tentu yang paling melambungkan namanya ketika dia tidak mau memakai APBD-P versi DPRD DKI Jakarta.
Menurut versi Ahok, anggaran tersebut berpotensi akan merugikan rakyat Jakarta karena ada alokasi dana yang tidak tepat. Akan tetapi, DPRD Jakarta merasa semua prosedur sudah dilakukan dengan benar dan justru Ahok yang dianggap hendak menyuap mereka.
Mencermati kasus tersebut, Ahok ternyata mendapat dukungan dari masyarakat. Hasil survei Cyrus Network menunjukkan, 63,4 persen lebih percaya kepada gubernur DKI dan 70 persen menyukai Ahok. Survei dilaksanakan 2-7 Maret saat perseteruan Ahok dengan DPRD masih berlangsung.
Mencuatnya sosok Ahok yang kokoh bagai batu karang dan mandiri dalam prinsip seakan-akan memberi hiburan tersendiri ketika pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla ternyata tak mampu memenuhi janji-janjinya.
Dalam kasus pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri, pemerintah sekarang ini dinilai tidak berpihak pada pemberantasan korupsi. Bahkan, banyak pihak yang mengkhawatirkan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi terancam.
Hal terakhir yang makin membenarkan pemerintahan sekarang ini tidak konsisten memberantas korupsi, terpidana koruptor akan diberikan remisi. Korupsi di negara ini sudah menjadi budaya, sudah mengakar. Kejahatan yang merugikan masyarakat banyak ini terus meningkat.
Gagasan untuk memberikan remisi kepada terpidana koruptor hanya menunjukkan ketiadaan urgensi atau prioritas dalam memberantas korupsi. Remisi memang hak narapidana. Akan tetapi, dalam konteks negara ini sedang gencar memberantas korupsi, seyogianya semua pihak bersikap tegas terhadap kejahatan ini agar calon koruptor jera.
Kita masih beruntung mempunyai sosok yang bernama Ahok. Tidak hanya Franky Kowaas dari Manado yang mengidolakan Gubernur Jakarta. Sampai tingkat tertentu sekarang ini, Ahok telah sedikit banyak menyelamatkan muka Indonesia bahwa korupsi harus dilawan dengan penuh keberanian. Dan ternyata. ketika keberanian itu muncul, dukungan pun mengalir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar