Al-Azhar dan Kementerian Wakaf mendapatkan mandat untuk melaksanakan proposal itu. Mesir mengambil langkah yang tidak biasa di saat negara-negara Barat dan koalisinya di Timur Tengah menggencarkan pendekatan militer untuk menumpas NIIS. Mesir justru mengambil langkah penting untuk mencegah penetrasi ideologi NIIS yang semakin kuat, khususnya di kawasan Sinai dan beberapa pelosok yang jauh dari perkotaan.
Perlawanan melawan kelompok ekstremis pasti akan sangat panjang dan melelahkan, karena itu dibutuhkan strategi yang tepat agar tidak menimbulkan dampak yang justru menimbulkan simpati warga sehingga mereka justru berbalik mendukung NIIS. Ironis, di tengah perang global melawan NIIS, justru kaum muda terdeteksi mempunyai minat untuk bergabung dengan kelompok terlarang tersebut. Penetrasi NIIS melalui media sosial dan internet telah memukau kaum muda. Belakangan, kaum muda dari Inggris, Perancis, dan Australia memilih bergabung dengan NIIS.
Karena itu, langkah yang diambil Mesir untuk menggemakan pembaruan pemikiran keagamaan merupakan langkah antisipatif yang sangat tepat. Bahkan, Abdul Mukthi Hijazi dalam tulisannya di
Pertarungan antara pembaruan dan ekstremisme akan meneguhkan eksistensi Mesir. Apakah pembaruan pemikiran keagamaan akan direspons positif oleh publik atau sebaliknya pemikiran ekstremis ala NIIS yang akan memenangi pertarungan? Sejarah yang akan mencatat dan membuktikannya.
Fakta yang tak bisa diabaikan oleh dunia Arab pasca revolusi, bahwa Al Qaeda dan jaringannya semakin kuat daripada era sebelumnya. Hal itu bukan hal yang spontan terjadi, melainkan agenda dan strategi yang disusun rapi oleh Al Qaeda.
Menurut Abdel Bari Arwan dalam
Pembaruan versus ekstremisme
Di Mesir, dialektika antara pembaruan dan ekstremisme mempunyai sejarah yang cukup lama. Di akhir abad ke-19, Muhammad Abduh telah menabuh genderang pembaruan pemikiran keagamaan dengan menegaskan pentingnya rasionalitas dan dialog antar-agama. Abduh memandang cara untuk melawan kolonialisme dengan melakukan pembaruan dan mengembangkan pendidikan. Mesir, menurut Abduh, perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mencerahkan pemikiran keagamaan dalam rangka membangun harmoni, menjaga pluralitas, dan mendorong dialog konstruktif.
Salah satu pemikiran Abduh yang sangat populer adalah perlunya memahami Islam sebagai agama dan peradaban (
Islam sebagai peradaban inilah yang kemudian melahirkan sebuah diktum yang sangat populer, "saya menemukan 'Islam' di Barat tanpa kaum Muslim, sebaliknya saya menemukan Muslim di Mesir tanpa 'Islam'." Abduh hendak mengacu pada nilai-nilai universal Islam yang jauh lebih membumi di Barat dibandingkan di dunia Islam, khususnya di Mesir.
Warisan Abduh terus diabadikan di Mesir, khususnya di Al-Azhar sebagai pusat pemikiran keislaman. Filsafat diajarkan di Al-Azhar, bahkan Grand Syaikh Al-Azhar yang sekarang, Syaikh Ahmad Thayyib, adalah jebolan jurusan filsafat dan mendapatkan gelar doktor dalam bidang filsafat Islam dari Universitas Sorbonne, Paris.
Meskipun demikian, pembaruan tidak berjalan mulus. Pada tahun 1928 muncul gerakan Ikhwanul Muslimin yang diinisiasi oleh Hasan al-Banna. Gerakan ini sebagai antitesis atas gerakan kultural Abduh. Al-Banna menegaskan mengenai perlunya gerakan politik yang meneguhkan kembali Khilafah Islamiyah dan formalisasi syariat Islam. Meskipun mereka menggunakan instrumen gerakan kultural, sejak awal Al-Banna telah meneguhkan ideologi Khilafah Islamiyah.
Puncaknya, Sayyed Quthb pada tahun 1950-an dan 1960-an meneguhkan perlunya menggunakan jalan apa pun untuk mencapai tujuan, termasuk menggunakan kekerasan. Bukunya,
Al-Azhar
Kini, gerakan pembaruan dan kelompok ekstremis sama-sama eksis di Mesir. Keduanya masih berkontestasi di ruang publik. Al-Azhar sebagai corong moderasi Islam konsisten pada jalur pendidikan dan pemberdayaan umat. Hampir semua lembaga pendidikan Islam di bawah kendali Al-Azhar. Sedangkan Ikhwanul Muslimin semakin mengukuhkan sebagai gerakan politik, terutama pasca revolusi dan berhasil menjadikan kadernya, Muhammad Mursi, berkuasa, meskipun belakangan dilengserkan oleh militer atas mandat rakyat.
Al-Azhar menjadi faktor penting moderasi dan pembaruan pemikiran keagamaan di Mesir dan dunia Islam pada umumnya. Didirikan oleh Dinasti Fatimiyyah yang beraliran Syiah, Al-Azhar konsisten membangun harmoni dan keseimbangan. Bahkan, Al-Azhar bersama lembaga titik-temu Sunni-Syiah yang berpusat di Iran telah lama mendorong dialog dan persuasi antara Sunni dan Syiah, yang diprakarsai Syaikh Mahmud Syaltut. Dalam sebuah fatwanya yang sangat populer, Syaikh Syaltut menegaskan, Syiah adalah salah satu mazhab dalam Islam, dan fikih mazhab Ja'fariyah dan Zaydiyah digunakan oleh Syiah sebagai salah satu mazhab yang diakui dalam Islam. Di Al-Azhar sendiri diajarkan enam mazhab fikih, yaitu Syafii, Maliki, Hanafi, Hambali, Ja'fari, dan Zaydi.
Tak hanya itu, Al-Azhar mendorong dialog antar-iman dengan berbagai agama yang eksis di Mesir, seperti Kristen Koptik, Katolik, Kristen, Yahudi, dan Bahai. Bahkan, Al-Azhar mendirikan "Rumah Keluarga" (
Langkah Pemerintah Mesir mendorong pembaruan pemikiran keagamaan patut diapresiasi dan mendapat perhatian karena langkah ini medium deradikalisasi yang sangat efektif untuk memastikan bahwa moderasi Islam terus membumi dan mewarnai ruang publik. Hanya dengan cara itu, penetrasi NIIS dapat diantisipasi agar tak meluas.
ZUHAIRI MISRAWI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Mesir dan Pembaruan Keagamaan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar