Pekan lalu, dari Istana Bogor, Presiden Joko Widodo mengeluarkan instruksi agar dana haji jangan hanya mengendap dalam bentuk deposito, tetapi diinvestasikan ke sektor produktif yang lebih menguntungkan rakyat.
Ia membandingkan dengan negara tetangga, yang menginvestasikan 90 persen tabungan haji mereka-yang lebih besar daripada Indonesia-ke dalam beragam proyek infrastruktur: mulai dari pelabuhan, bandara, hingga perkebunan kelapa sawit. Meski tak diucapkan, kita mafhum, yang dimaksud Jokowi adalah Malaysia, salah satu lokomotif dan pemain global ekonomi Islam saat ini, yang menunjukkan kinerja ekonomi memukau melalui lembaga Tabung Haji (TH).
Tahun lalu, bekerja sama dengan Bank Gatehouse, TH memperkaya portofolio investasi mereka dengan mengakuisisi kantor pusat Unilever di Inggris dan Irlandia di kawasan Leatherhead, Surrey, dengan nilai transaksi 75,75 juta poundsterling atau setara 117 juta dollar AS.
Informasi terbaru, pada Minggu, 22 Februari 2015, TH mengumumkan pembagian bonus tahunan untuk 2014 sebesar 6,25 persen kepada 10 juta deposan (sekitar 1/3 penduduk Malaysia). Bonus itu masih ditambah 2 persen lagi bagi calon haji yang belum berangkat, sebagai apresiasi TH terhadap kesabaran mereka menunggu jadwal kepergian.
Pilihan infrastruktur
Adapun dana haji Indonesia yang bernama Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), sampai November 2014 berjumlah Rp 68,47 triliun yang tersimpan di 21 bank, baik bank syariah maupun bank konvensional, dengan rekening Menteri Agama. Pada 2020, dana ini diprediksi akan menyentuh Rp 150 triliun.
Dari perspektif defisit anggaran, dana sebanyak itu yang hanya "tertidur" bertahun-tahun memang terasa bak kemubaziran besar mengingat kebutuhan pertumbuhan infrastruktur begitu tinggi. Karena itu, pada era Menteri Agama Suryadharma Ali dibuatlah nota kesepahaman dengan Menkeu Chatib Basri mengenai penempatan dana haji dalam Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), yang pemanfaatannya akan dikembalikan kepada jemaah dalam bentuk subsidi pelayanan untuk tiga pos, yaitu pemondokan, katering, dan transportasi (
Pionir ekonomi syariah di Indonesia, M Syafii Antonio, mempertajam bentuk manfaat infrastruktur penyelenggaraan haji itu seperti memiliki pesawat udara sendiri yang di luar musim haji bisa disewakan kepada para penyelenggara ibadah umrah atau menyewa hotel haji untuk jangka panjang-semisal 10 tahun-yang akan mempermudah urusan pemondokan para calon haji Indonesia di Tanah Suci.
Jika pemahaman infrastruktur tersebut masih terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji seperti dicontohkan Antonio, penempatan dana haji masih selaras dengan prinsip syariah yang mengategorikan sukuk termasuk akad
Namun, akan bisa menjadi persoalan baru jika infrastruktur yang dimaksudkan Presiden Jokowi adalah untuk infrastruktur non-kepentingan haji, seperti dilakukan Malaysia. Sebab, berdasarkan model penerapan ekonomi Islam, melalui ujung tombaknya, praktik bank syariah, model ekonomi syariah yang diterapkan Malaysia dan Indonesia tak persis sama seperti yang dilihat masyarakat.
Penempatan dana
Problem lain yang bisa muncul jika BPIH ditempatkan pemerintah secara
Keluhan umum terhadap dana haji selama ini adalah kurang transparannya pengelolaan dana sehingga yang tahu persis nilai optimalisasi dari dana itu hanya Menteri Agama atau pejabat yang mengurusi dana itu saja. Para calon haji yang sesungguhnya pemilik sah dana tak pernah mendapat informasi rinci mengenai endapan dana yang didepositokan itu, termasuk berapa jumlah subsidi pembiayaan yang didapatkannya jika berangkat lebih awal dibandingkan dengan calon lain yang harus menunggu lebih lama.
Tak mengherankan jika salah satu wacana yang sudah sejak lama mengemuka adalah perlunya akun virtual yang dimiliki calon haji sehingga mereka tetap mengetahui perubahan jumlah dana masing-masing jika ada selama masa tunggu keberangkatan.
Jika pola pengelolaan dana haji di Malaysia tetap ingin dijadikan contoh, pengelolaan haji harus dilakukan oleh lembaga otonom dan independen seperti lembaga Tabung Haji, yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dalam hal ini fungsi Kementerian Agama hanya sebagai regulator dan pengawas saja karena fungsi eksekutor sudah diserahkan kepada lembaga otonom tersebut. Format selama ini bahwa Kementerian Agama menjadi eksekutor penyelenggaraan haji sudah tak bisa dipertahankan lagi.
Problem lanjutan yang bisa muncul dengan ditariknya dana haji dari bank-bank penampung deposito selama ini, secara langsung akan membuat bank-bank syariah akan melemah kekuatannya dari sisi dana pihak ketiga (DPK). Penarikan deposito haji ini mungkin tak akan terlalu berpengaruh bagi bank-bank konvensional yang memiliki fondasi DPK cukup kuat, tetapi pasti akan berdampak terhadap kinerja bank syariah yang pada 2014 pun menurun pertumbuhan mereka hanya pada kisaran 15 persen dari tahun-tahun sebelumnya yang bisa menembus angka pertumbuhan 40 persen.
Harus dipikirkan lebih cermat efek pengalihan deposito haji kepada proyek infrastruktur. Sebab, kebijakan ini secara langsung berdampak bagi program penguatan bank syariah yang menjadi salah satu agenda Gerakan Ekonomi Syariah (GRES!) yang juga belum lama dicanangkan. Ini mengingat kondisi perbankan syariah di Indonesia belum sekuat bank-bank syariah di Malaysia, terutama dari sisi DPK.
Dengan kata lain, meski model pengelolaan Tabung Haji oleh Malaysia menunjukkan hasil yang
Selama Kemenag masih ingin terus berkiprah sebagai regulator, pengawas dan eksekutor sekaligus. Pertanyaan eksistensial yang muncul adalah bagaimana mungkin regulator dan pengawas bisa menjalankan peran yang efektif untuk mengawasi kinerja eksekutor jika dalam praktiknya semua berada dalam tangan yang sama?
AKMAL NASERY BASRAL
MAHASISWA PASCASARJANA TAZKIA UNIVERSITY COLLEGE OF ISLAMIC ECONOMICS; KETUA FORUM AKSELERASI MASYARAKAT MADANI INDONESIA (FAMMI)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Parkir Dana Haji".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar