Bagaimana perkembangannya? Apakah upaya itu sudah benar-benar dijalankan dan terasa hasilnya? Tak mudah menilainya karena jawaban dari pertanyaan itu memang tak selalu bisa hitam-putih.
Sejak pemerintahan baru berjalan, tercatat beberapa hal telah dilakukan. Antara lain, membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas, mengganti posisi-posisi kunci di Direktorat Jenderal Migas, SKK Migas, dan Pertamina, serta mengubah sistem dan mekanisme pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minyak dengan membatasi kewenangan Petral. Yang terakhir ini sering diatributkan sebagai salah satu hasil rekomendasi dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas.
Dari perspektif politik, khususnya menyangkut publikasi dan komunikasi kepada publik, saya menilai apa yang telah dilakukan sudah lebih dari cukup. Bahkan, dalam beberapa kasus, porsinya cenderung berlebihan sehingga memberikan ekspektasi terlalu tinggi kepada publik.
Tim Reformasi Tata Kelola Migas, misalnya, sering lebih dikenal sebagai Tim Pemberantasan/Anti Mafia Migas yang diharapkan akan memberantas mafia migas dalam waktu segera. Padahal, tim ini hanya melakukan kajian dan memberikan rekomendasi kepada Menteri ESDM tentang hal yang berkaitan dengan tata kelola migas. Tim ini tidak berada di bawah Presiden secara langsung dan tidak memiliki kewenangan untuk mengeksekusi suatu kebijakan, apalagi memberantas mafia migas secara langsung.
Beberapa yang direkomendasikan tim ini pun pada dasarnya sebelumnya sudah cukup sering disuarakan berbagai kalangan dan juga direkomendasikan Kelompok Kerja Energi Tim Transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Belum sentuh substansi
Dari sisi substansi, saya menilai beberapa hal yang sudah dilakukan belum benar-benar menyentuh substansi, apalagi akar masalah yang ada.
Mafia migas pada dasarnya kejahatan kerah putih; praktik perburuan rente di seluruh mata rantai bisnis migas dari hulu hingga hilir. Mafia tak hanya memanfaatkan celah peraturan, kebijakan, tata kelola, ataupun keterbatasan infrastruktur, tetapi juga berperan dalam memengaruhi, membentuk, dan menentukan peraturan, kebijakan, tata kelola, serta keterbatasan infrastruktur itu sendiri, yang kemudian dikondisikan untuk terus-menerus terpelihara dalam keadaan yang melanggengkan berlangsungnya praktik perburuan rente.
Esensi memberantas mafia migas sesungguhnya lebih pada memperbaiki kekurangan sistem (peraturan, kebijakan, infrastruktur), ketimbang pada memberantas kelompok kepentingan dan mematahkan permainan mafia yang tengah dilangsungkan. Sistem yang lebih baik akan mempersempit ruang gerak mafia migas untuk bermain.
Dalam konteks migas nasional, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi adalah peraturan tertinggi di bawah Konstitusi yang menjadi dasar pengaturan sektor migas selama ini. Oleh Mahkamah Konstitusi, sebagian pasalnya telah dianulir dan dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum tetap.
Merevisi UU Migas dan menghasilkan UU Migas baru sesegera mungkin adalah upaya nyata pemberantasan mafia migas yang jauh lebih substansial dan mestinya telah dimulai dalam masa 4-5 bulan awal pemerintahan ini. Dengan UU Migas baru yang sudah disempurnakan, nantinya pemerintah akan memiliki landasan yang lebih kokoh untuk secara sistematis mempersempit ruang gerak mafia migas melalui peraturan turunan dan kebijakan pelaksanaannya.
Pemberantasan mafia migas sebaiknya mengutamakan pendekatan dan langkah yang lebih konkret dan substansial. Pendekatan yang lebih berdimensi politis, apalagi pencitraan, sebaiknya tidak perlu dikedepankan, apalagi dilanjutkan. Saatnya merealisasikan kerja, kerja, kerja.
PRI AGUNG RAKHMANTO DOSEN FTKE UNIVERSITAS TRISAKTI; PENDIRI REFORMINERINSTITUTE
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Nasib Pemberantasan Mafia Migas".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar