Dalam rapat Jumat (20/3) malam, DPRD Jakarta menolak Rancangan Peraturan Daerah APBD Jakarta tahun 2015 dan mempersilakan Gubernur DKI Jakarta menerbitkan peraturan gubernur untuk diajukan kepada Kementerian Dalam Negeri. Pihak Kementerian Dalam Negeri masih menunggu keputusan resmi DPRD Jakarta perihal masalah tersebut hingga Senin ini.
Pembahasan RAPBD 2015 Jakarta penuh dinamika dan sekaligus membuka kotak pandora permainan penyusunan anggaran. Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyebut ada penyusupan "proyek dan anggaran siluman" triliunan rupiah dalam sejumlah mata anggaran yang tidak diketahui pemerintah provinsi. Sebaliknya, DPRD Jakarta menggunakan hak angket karena menilai Gubernur mengajukan draf RAPBD yang belum disetujui DPRD Jakarta ke Kementerian Dalam Negeri. Dinamika politik pembahasan RAPBD Jakarta yang diwarnai dengan perang pernyataan kedua pihak itu akhirnya berakibat pada kebuntuan politik! Amat disesalkan!
Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, salah satu tugas DPRD adalah membahas dan memberikan persetujuan rancangan perda APBD provinsi yang diajukan Gubernur. Namun, putusan MK No 35/PUU-XI/2013 telah membatalkan kewenangan DPR membahas anggaran sampai satuan tiga, yakni jenis kegiatan dan jenis belanja.
Karena RAPBD 2015 tak bisa disahkan, konsekuensinya anggaran pembangunan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menggunakan APBD tahun 2014. Anggaran APBD 2014 sebesar Rp 72,9 triliun, sedangkan RAPBD 2015 sebesar Rp 73,08 triliun. Ada selisih sekitar Rp 180 miliar.
Kita menyayangkan kegagalan pembahasan RAPBD Jakarta 2015. Jakarta adalah barometer politik Indonesia. Apa yang terjadi di Jakarta telah memberikan contoh yang tidak baik. Ego dan kepentingan politik atau kelompok politik terasa lebih dominan daripada kepentingan masyarakat.
Namun, di sisi lain, pertentangan Gubernur dan DPRD itu membuka mata publik bahwa ada masalah dalam penyusunan anggaran pembangunan yang berlangsung "aman-aman" saja selama ini. Ini terungkap dengan ditemukannya indikasi adanya apa yang disebut sebagai "anggaran siluman" Rp 12 triliun. Pembahasan RAPBD Jakarta diwarnai dengan pertarungan menang dan kalah.
Kita berharap Menteri Dalam Negeri bisa menemukan solusi menyelamatkan Jakarta dari kebuntuan anggaran. Bukankah sebenarnya politik itu adalah seni mencari berbagai kemungkinan? Politik adalah sebuah upaya kompromi guna membangun konsensus untuk kepentingan masyarakat, dan bukan untuk kepentingan elite politik. Tidak sepantasnya kepentingan warga Jakarta disandera kepentingan mereka, para elite politik.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Kebuntuan RAPBD Jakarta".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar