Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 11 Maret 2015

Seni Melawan Korupsi (ILHAM KHOIRI)

Bisa dibilang, Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan satu-satunya lembaga penegak hukum yang dipercaya masyarakat saat ini. Namun, bulan-bulan ini KPK tengah terpuruk akibat beberapa komisionernya dikriminalisasi oleh Polri. Para seniman, sebagai bagian dari masyarakat sipil, menggelar berbagai aksi untuk mendukung KPK.

Musisi Ari  dan Reda tampil dalam pertunjukan
KOMPAS/HERU SRI KUMOROMusisi Ari dan Reda tampil dalam pertunjukan "Seni Lawan Korupsi" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (5/3). Pertunjukan ini merupakan bentuk ekspresi dan perlawanan seniman terhadap kuasa dan tangan-tangan korupsi.

Salah satu aksi digelar Dewan Kesenian Jakarta, Koalisi Seni Indonesia, Pusat Kesenian Jakarta TIM, dan 23 lembaga seni di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (5/3). Bertajuk "Seni Lawan Korupsi", para seniman menampilkan beragam atraksi seni. Ada pameran lukisan, poster, dan grafis di Teater Kecil. Ada pula curah ekspresi di atas spanduk dan orasi di depan Teater Jakarta. Pada malam hari digelar orasi di Graha Bhakti Budaya.

Semua karya seni itu mengecam pelemahan KPK oleh Polri. Spanduk yang dipampang di depan Teater Jakarta dipenuhi usulan hukuman untuk koruptor. "Dimiskinkan saja! Suruh sekolah lagi! Back to SD, belajar Pancasila! Hukum Gantung! Buang ke Laut!". Begitu bunyi beberapa kertas usulan dari para seniman yang mewakili kegemasan publik.

Kegemasan itu sangat beralasan. Sebagaimana diberitakan, tak lama setelah KPK menetapkan calon Kepala Polri Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditetapkan oleh Bareskrim Polri sebagai tersangka dalam kasus kesaksian palsu pada sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi (MK). Kemudian, Ketua KPK Abraham Samad ditetapkan oleh Polda Sulawesi Selatan dan Barat sebagai tersangka kasus pemalsuan surat administrasi kependudukan. Dua wakil ketua KPK, Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja, juga terancam "ditersangkakan" dalam dua kasus berbeda.

Saat bersamaan, salah satu penyidik andalan KPK, Novel Baswedan, terancam dijerat dengan kasus dugaan penganiayaan saat dia bertugas di Bengkulu, beberapa tahun lalu. Polri juga mempersoalkan kepemilikan senjata oleh sejumlah penyidik komisi itu. Mereka terancam dikriminalkan oleh kepolisian.

Kondisi ini sungguh melemahkan KPK. Dalam situasi demikian, sulit berharap komisi itu bisa mengungkap kasus-kasus baru. Bahkan, tindak lanjut kasus-kasus lama juga terancam terbengkalai. Kita tahu, komisi ini memiliki banyak pekerjaan rumah berupa kasus-kasus yang melibatkan sejumlah pejabat sebagai tersangka, seperti mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Ketua Komisi VII Sutan Bhatoegana, dan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo.

Tak berbuat banyak

Presiden Joko Widodo, yang diharapkan bisa segera mencegah kriminalisasi terhadap KPK, ternyata tidak berbuat banyak. Meski beberapa kali mengungkapkan pernyataan agar kriminalisasi komisi itu diberhentikan, nyaris tidak ada langkah nyata. Sulit dihindari kesan bahwa Presiden mendiamkan kondisi ini.

Presiden Joko Widodo justru menonaktifkan Bambang dan Abraham dari kepemimpinan KPK dan mengangkat Taufiequrachman Ruki sebagai Pelaksana Tugas Ketua KPK dan Indrianto Seno Adji sebagai pelaksana Wakil Ketua KPK. Keadaan masih jauh dari pulih. Apalagi, ternyata Taufiequrachman Ruki justru melimpahkan kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung.

Kekuatan KPK pun melemah pada titik sangat rendah. Situasi inilah yang memicu para seniman beraksi. Mereka gemas dengan Presiden, elite partai politik, dan DPR yang terkesan membiarkan pelemahan terhadap KPK terus berlanjut. Polri seakan mendapat angin segar untuk meneruskan kriminalisasi. Terlebih, beberapa polisi yang terlibat dalam penangkapan dan pengusutan Bambang Widjojanto justru dipromosikan naik pangkat atau diangkat sebagai pejabat lebih tinggi. Padahal, KPK adalah lembaga yang dibentuk sebagai amanat Reformasi 1998 untuk membersihkan negeri ini dari kejahatan luar biasa berupa korupsi.

Salah satu  sudut yang terekam dalam acara
KOMPAS/INGKI RINALDISalah satu sudut yang terekam dalam acara "Seni Lawan Korupsi" yang digelar di kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (5/3).

Gerakan para seniman itu mengingatkan kita pada gerakan masyarakat sipil untuk mendukung KPK dalam kasus "Cicak Versus Buaya" jilid I dan jilid II. Pada jilid I, komisi itu dilemahkan oleh Polri yang mengkriminalkan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Pada jilid II, Polri mengkriminalkan penyidik KPK Novel Baswedan, bahkan hendak menangkap dia.

Pada dua proses pelemahan itu, KPK bisa selamat. Selain karena dukungan publik, terutama para aktivis anti korupsi, hal itu tak terlepas dari dukungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada KPK. Sebagai Presiden, SBY mengeluarkandeponering (penghentian kasus) terhadap Chandra dan Bibit. Dia juga mendukung KPK mengusut kasus dugaan korupsi pada Korlantas Polri dengan tersangka mantan Direktur Korlantas Djoko Susilo. Artinya, KPK bisa lolos dari pelemahan dalam dua kali proses kriminalisasi, terutama karena disokong oleh presiden.

Lantas, apakah kali ini KPK juga akan lolos dari pelemahan? Kini, bola ada di tangan Presiden Joko Widodo. Jika memiliki komitmen kuat untuk memberantas korupsi, Presiden bisa segera menghentikan kriminalisasi KPK dan menopang kembali komisi itu agar bisa tegak dan menjalankan tugasnya membersihkan negeri ini dari kejahatan korupsi. Namun, jika komitmen itu rendah dan Presiden mendiamkan, kriminalisasi KPK akan berlanjut. Terjadi senjakala pemberantasan korupsi.

Sekali lagi, semua tergantung dari Presiden yang sejatinya memiliki otoritas penuh untuk mendukung pemberantasan korupsi.

Siang | Ikon komentar1 komentarIkon jumlah hit355 dibaca

Bisa dibilang, Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan satu-satunya lembaga penegak hukum yang dipercaya masyarakat saat ini. Namun, bulan-bulan ini KPK tengah terpuruk akibat beberapa komisionernya dikriminalisasi oleh Polri. Para seniman, sebagai bagian dari masyarakat sipil, menggelar berbagai aksi untuk mendukung KPK.

Musisi Ari  dan Reda tampil dalam pertunjukan
KOMPAS/HERU SRI KUMOROMusisi Ari dan Reda tampil dalam pertunjukan "Seni Lawan Korupsi" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (5/3). Pertunjukan ini merupakan bentuk ekspresi dan perlawanan seniman terhadap kuasa dan tangan-tangan korupsi.

Salah satu aksi digelar Dewan Kesenian Jakarta, Koalisi Seni Indonesia, Pusat Kesenian Jakarta TIM, dan 23 lembaga seni di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (5/3). Bertajuk "Seni Lawan Korupsi", para seniman menampilkan beragam atraksi seni. Ada pameran lukisan, poster, dan grafis di Teater Kecil. Ada pula curah ekspresi di atas spanduk dan orasi di depan Teater Jakarta. Pada malam hari digelar orasi di Graha Bhakti Budaya.

Semua karya seni itu mengecam pelemahan KPK oleh Polri. Spanduk yang dipampang di depan Teater Jakarta dipenuhi usulan hukuman untuk koruptor. "Dimiskinkan saja! Suruh sekolah lagi! Back to SD, belajar Pancasila! Hukum Gantung! Buang ke Laut!". Begitu bunyi beberapa kertas usulan dari para seniman yang mewakili kegemasan publik.

Kegemasan itu sangat beralasan. Sebagaimana diberitakan, tak lama setelah KPK menetapkan calon Kepala Polri Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditetapkan oleh Bareskrim Polri sebagai tersangka dalam kasus kesaksian palsu pada sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi (MK). Kemudian, Ketua KPK Abraham Samad ditetapkan oleh Polda Sulawesi Selatan dan Barat sebagai tersangka kasus pemalsuan surat administrasi kependudukan. Dua wakil ketua KPK, Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja, juga terancam "ditersangkakan" dalam dua kasus berbeda.

Saat bersamaan, salah satu penyidik andalan KPK, Novel Baswedan, terancam dijerat dengan kasus dugaan penganiayaan saat dia bertugas di Bengkulu, beberapa tahun lalu. Polri juga mempersoalkan kepemilikan senjata oleh sejumlah penyidik komisi itu. Mereka terancam dikriminalkan oleh kepolisian.

Kondisi ini sungguh melemahkan KPK. Dalam situasi demikian, sulit berharap komisi itu bisa mengungkap kasus-kasus baru. Bahkan, tindak lanjut kasus-kasus lama juga terancam terbengkalai. Kita tahu, komisi ini memiliki banyak pekerjaan rumah berupa kasus-kasus yang melibatkan sejumlah pejabat sebagai tersangka, seperti mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Ketua Komisi VII Sutan Bhatoegana, dan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo.

Tak berbuat banyak

Presiden Joko Widodo, yang diharapkan bisa segera mencegah kriminalisasi terhadap KPK, ternyata tidak berbuat banyak. Meski beberapa kali mengungkapkan pernyataan agar kriminalisasi komisi itu diberhentikan, nyaris tidak ada langkah nyata. Sulit dihindari kesan bahwa Presiden mendiamkan kondisi ini.

Presiden Joko Widodo justru menonaktifkan Bambang dan Abraham dari kepemimpinan KPK dan mengangkat Taufiequrachman Ruki sebagai Pelaksana Tugas Ketua KPK dan Indrianto Seno Adji sebagai pelaksana Wakil Ketua KPK. Keadaan masih jauh dari pulih. Apalagi, ternyata Taufiequrachman Ruki justru melimpahkan kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung.

Kekuatan KPK pun melemah pada titik sangat rendah. Situasi inilah yang memicu para seniman beraksi. Mereka gemas dengan Presiden, elite partai politik, dan DPR yang terkesan membiarkan pelemahan terhadap KPK terus berlanjut. Polri seakan mendapat angin segar untuk meneruskan kriminalisasi. Terlebih, beberapa polisi yang terlibat dalam penangkapan dan pengusutan Bambang Widjojanto justru dipromosikan naik pangkat atau diangkat sebagai pejabat lebih tinggi. Padahal, KPK adalah lembaga yang dibentuk sebagai amanat Reformasi 1998 untuk membersihkan negeri ini dari kejahatan luar biasa berupa korupsi.

Salah satu  sudut yang terekam dalam acara
KOMPAS/INGKI RINALDISalah satu sudut yang terekam dalam acara "Seni Lawan Korupsi" yang digelar di kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (5/3).

Gerakan para seniman itu mengingatkan kita pada gerakan masyarakat sipil untuk mendukung KPK dalam kasus "Cicak Versus Buaya" jilid I dan jilid II. Pada jilid I, komisi itu dilemahkan oleh Polri yang mengkriminalkan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Pada jilid II, Polri mengkriminalkan penyidik KPK Novel Baswedan, bahkan hendak menangkap dia.

Pada dua proses pelemahan itu, KPK bisa selamat. Selain karena dukungan publik, terutama para aktivis anti korupsi, hal itu tak terlepas dari dukungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada KPK. Sebagai Presiden, SBY mengeluarkandeponering (penghentian kasus) terhadap Chandra dan Bibit. Dia juga mendukung KPK mengusut kasus dugaan korupsi pada Korlantas Polri dengan tersangka mantan Direktur Korlantas Djoko Susilo. Artinya, KPK bisa lolos dari pelemahan dalam dua kali proses kriminalisasi, terutama karena disokong oleh presiden.

Lantas, apakah kali ini KPK juga akan lolos dari pelemahan? Kini, bola ada di tangan Presiden Joko Widodo. Jika memiliki komitmen kuat untuk memberantas korupsi, Presiden bisa segera menghentikan kriminalisasi KPK dan menopang kembali komisi itu agar bisa tegak dan menjalankan tugasnya membersihkan negeri ini dari kejahatan korupsi. Namun, jika komitmen itu rendah dan Presiden mendiamkan, kriminalisasi KPK akan berlanjut. Terjadi senjakala pemberantasan korupsi.

Sekali lagi, semua tergantung dari Presiden yang sejatinya memiliki otoritas penuh untuk mendukung pemberantasan korupsi.

Sumber: Kompas Siang, 10 Maret 2015
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger