Lee (91) tutup usia Senin dini hari setelah dirawat karena pneumonia awal Februari lalu. Yang ia tinggalkan adalah sebuah republik dengan perekonomian maju dan masyarakat yang tertib dan berorientasi ke masa depan.
Jika kita menyaksikan Singapura dewasa ini, dengan rakyat yang tekun bekerja dan disiplin, pejabatnya anti korupsi, dan infrastruktur ekonomi yang tangguh, maka sang arsitek tidak lain adalah sang Bapak Pendiri, yang kita yakin sudah punya cetak biru bagi bangsanya.
Ketika sebagai lulusan studi hukum dari Universitas Cambridge mendirikan Partai Aksi Rakyat tahun 1954, Lee Kuan Yew dengan langkah meyakinkan merintis tidak saja karier politik, tetapi juga masa depan bangsanya. Ketika ia memenangi pemilihan tahun 1959, ia pun menjadi perdana menteri saat berusia 36 tahun.
Upayanya untuk hidup nyaman dalam Federasi Malaysia tahun 1963 tak berlangsung mulus, hingga Lee pun membawa Singapura menjadi negara merdeka 9 Agustus 1965.
Lee punya kepercayaan besar kepada rakyatnya, yang mau ia ajak bekerja keras. Dengan keyakinan itu pula, seperti dikisahkan dalam bukunya,
Memang, seiring dengan pertumbuhan, ada pula perkembangan baru. Sehomogen apa pun bangsa Singapura dalam keyakinan politik, ada juga yang ingin kehidupan demokratis. Mendiang Lee acap menempuh sikap keras terhadap lawan politik. Namun, terhadap kekuasaan, Lee bisa membatasi diri. Setelah menjadi PM selama 31 tahun, pada 1990 ia menyerahkan kekuasaan kepada Goh Chok Tong, yang 14 tahun kemudian mentransfer kekuasaan kepada Lee Hsien Loong, putra sulung Lee Kuan Yew.
Dengan catatan yang ada, mungkin tentang praktik demokrasi, Lee diakui sebagai pemimpin besar. Di antara warisannya yang dikenang adalah pemerintahan yang efisien, pajak rendah untuk menarik investasi, sekolah unggul, dan jalanan yang bersih dan aman. Itu tentu faktor penting yang menjadikannya sebagai salah satu kota yang paling aman untuk ditinggali.
Sebagai tetangga, kita berharap Singapura sepeninggal sang Bapak Pendiri bisa terus maju dan berkontribusi bagi perdamaian dan pengembangan kawasan. Kalau Presiden Amerika Serikat Barack Obama saja mendiskusikan kebijakan Asia Pasifiknya dengan Lee, pastilah karena mendiang diakui keluasan wawasan dan kearifannya.
Kepergian Lee mungkin tak persis seperti apa yang ia uraikan dalam bukunya,
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Lee Kuan Yew dan Warisannya".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar