Laporan harian ini dua hari berturut-turut hanya potret sesaat, sementara keadaan senyatanya antara lain terlihat dari data resmi pemerintah di atas. Alih-alih di pedalaman terpencil, beberapa kilometer dari metropolitan pun tampang kumuh terbengkalai terlihat di beberapa gedung sekolah di berbagai tempat.
Bahkan di daerah jauh dari kota seperti di Maluku yang satu setengah bulan 400 siswa belajar di bawah tenda atau 35 persen bangunan gedung SD di Palembang tidak layak. Kondisi ini ironis ketika pemerintah kita bicara tentang bonus demografi, tentang mutu generasi masa depan, lebih khusus lagi tentang wajib belajar 9 tahun, tentang sudah tercapainya anggaran 20 persen sehingga nominal tahun ini Rp 400 triliun, dan lainnya.
Sementara di saat bersamaan, kita lalai menyediakan sarana infrastruktur penting yang diperlukan dalam praksis pendidikan, yakni gedung sekolah. Kelalaian ini dipastikan meluas pada penyediaan sarana lain, alih-alih soal rumitnya penghentian mendadak Kurikulum 2013 yang membikin tergagap-gagap, kegiatan belajar-mengajar diselenggarakan di bawah atap nyaris roboh atau tenda sekali-sekali mendadak terbang dibawa angin. Pendek kata, membuat siswa dan guru senantiasa ketakutan.
Membanggakan tingginya APBD tetapi kurang memberikan prioritas pada sarana infrastruktur pendidikan, sekadar contoh, yang disebabkan ketidaktahuan pentingnya mengembangkan generasi masa depan tetapi lebih pada keburu mengejar pencitraan. Sesuatu yang kontradiktif dengan slogan "kerja, kerja, kerja" pemerintahan Jokowi-Kalla, tidak lagi banyak wacana, tetapi eksekusi.
Terbengkalainya gedung sekolah, lebih khusus gedung-gedung SD negeri, lebih khusus lagi sebagian besar bangunan proyek Inpres SD tahun 1974, urat nadi sumber persoalan terpampang jelas, dalam konteks ini perlu dilihat sebagai persoalan serius. Setidaknya dua instansi pemerintahan terlibat di sana, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta pemerintahan daerah di bawah instansi tertinggi provinsi atau kabupaten.
Idealnya semua instansi yang terkait bekerja bersama. Dalam kasus SD, dikembangkan kerja sama lebih baik antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Dalam Negeri. Kesepakatan ideal pentingnya pendidikan dasar 9 tahun tidak selesai dalam konsep, tetapi mengarus sampai pendidikan SD sebagai tataran pijakan pertama.
Kalau masalah sederhana tetapi strategis ini—yakni terbengkalainya infrastruktur sarana gedung kedodoran, bagian dari sarana fisik yang relatif mudah ditangani dibandingkan persoalan kurikulum, misalnya—kedodoran, dampak buruknya akan kelihatan setidaknya satu generasi ke depan. Yang gigit jari bukan kita sekarang, melainkan generasi anak cucu kita!
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Terbengkalainya Gedung Sekolah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar