Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 28 Maret 2015

TAJUK RENCANA: Tiongkok Agresif Garap Spratly (Kompas)

FILIPINA, KAMIS — (26/3), prihatin terhadap langkah Tiongkok yang secara agresif melakukan reklamasi dan pembangunan di Kepulauan Spratly.

Menteri Luar Negeri Filipina Albert del Rosario menunjukkan foto satelit yang memperlihatkan bahwa proses reklamasi (pengurukan) tengah berlangsung di beberapa pulau di Kepulauan Spratly, Laut Tiongkok Selatan. Menurut dia, Tiongkok tengah mengubah gugusan karang menjadi pulau buatan, yang dilengkapi bangunan, lapangan terbang, dan dermaga.

Filipina telah melayangkan protes atas reklamasi dan pembangunan yang dilakukan Tiongkok di Kepulauan Spratly, yang merupakan wilayah yang menjadi tumpang tindih klaim antara Tiongkok, Filipina, Brunei, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan. Namun, hingga kini, Tiongkok tak menanggapi protes itu. Sebelumnya, Tiongkok selalu menegaskan haknya untuk melakukan kegiatan apa pun di dalam wilayah yang diklaim sebagai wilayahnya.

Dua tahun lalu, Filipina mengajak Tiongkok untuk membawa sengketa wilayah di Laut Tiongkok Selatan itu ke Lembaga Arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa di Den Haag, Belanda. Namun, ajakan itu diabaikan Tiongkok. Akhirnya, tahun lalu, secara sepihak Filipina memasukkan kasus sengketa wilayah itu ke Lembaga Arbitrase PBB.

Di luar itu, tengah diupayakan untuk mengajak negara- negara yang memiliki tumpang tindih klaim di Laut Tiongkok Selatan menyepakati dan tunduk pada tata berperilaku (code of conduct) di Laut Tiongkok Selatan. Akan tetapi, tampaknya tidak mudah untuk mendapatkan komitmen dari Tiongkok.

Indonesia sebagai negara yang tidak memiliki tumpang tindih klaim wilayah di Laut Tiongkok Selatan memiliki potensi untuk menjadi penengah (mediator) guna membantu pihak-pihak yang memiliki tumpang tindih klaim menyelesaikan sengketa di antara mereka. Untuk itu, Indonesia harus mendapatkan kepercayaan dari negara- negara yang bersengketa, terutama Tiongkok, yang merupakan satu-satunya negara raksasa di kawasan ini.

Tawaran untuk memediasi itu sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), dan kini pun Presiden Joko Widodo menegaskan kesediaan Indonesia untuk memediasi. Ada baiknya Presiden Jokowi menggunakan kunjungannya ke Tiongkok untuk meyakinkan Tiongkok bahwa Indonesia tidak hanya memiliki potensi, tetapi juga kemampuan, untuk melakukan mediasi.

Itu tentunya tidak mudah karena Indonesia harus membuat posisinya sebagai mediator dihormati oleh Tiongkok. Indonesia harus dapat berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan Tiongkok. Tanpa penghormatan dari Tiongkok terhadap Indonesia, rasanya sulit bagi Indonesia memainkan perannya sebagai mediator.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Tiongkok Agresif Garap Spratly".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger