Meskipun Menteri Hukum dan HAM sudah menerbitkan keputusan pengesahan kepengurusan baru DPP Partai Golkar, konflik internal partai beringin ini tampaknya belum berakhir. Kubu Aburizal Bakrie melakukan perlawanan terhadap Agung Laksono. Mengapa konflik internal Golkar kali ini lebih keras? Bagaimana masa depan partai beringin?
Di tengah gerak cepat kubu Agung Laksono untuk melakukan konsolidasi internal, melobi pimpinan parpol pendukung Presiden Joko Widodo dan merestrukturisasi personalia DPP Golkar, Aburizal dan para pendukungnya ternyata tak tinggal diam. Secara hukum, kubu Aburizal menggugat surat keputusan Menkumham melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Sementara secara politik, Ketua Umum Golkar versi Munas Bali itu mengonsolidasikan parpol anggota Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR. Diwartakan pula, atas dukungan politik KMP, kubu Aburizal berniat mengajukan hak angket terkait pengesahan kepengurusan Golkar pimpinan Agung oleh Menkumham.
Sudah terlampau sering dikemukakan, konflik internal Golkar bukanlah fenomena baru. Kehadiran parpol replika partai beringin, seperti Partai Demokrat, PKP Indonesia, Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Partai Nasdem yang dapat dikatakan lahir dari friksi internal Golkar, merefleksikan hal itu. Namun, berbeda dengan konflik-konflik sebelumnya yang cenderung elitis dan dalam skala terbatas, konflik Golkar kali ini jauh lebih masif dan cenderung "kasar".
Betapa tidak, perseteruan tidak hanya melibatkan unsur pimpinan pusat partai beringin, tetapi juga massa pendukung masing-masing. Perkelahian fisik antarmassa pendukung di kantor DPP Golkar Slipi, Jakarta, akhir November 2014, menggambarkan jelas "kualitas" konflik internal Golkar kali ini. Adu argumen dua orang yang mewakili kubu masing-masing secara
"Primus interpares"
Konflik internal parpol sebenarnya bukan semata-mata fenomena Golkar. Partai Persatuan Pembangunan hingga kini masih memiliki kepengurusan ganda, masing-masing dipimpin M Romahurmuziy (versi Muktamar Surabaya) dan Djan Faridz (Muktamar Jakarta). Beruntung Partai Amanat Nasional yang baru saja selesai menyelenggarakan muktamar di Bali mampu menghindarkan diri dari perpecahan internal. Zulkifli Hasan terpilih secara demokratis sebagai Ketua Umum baru PAN menggantikan Hatta Rajasa.
Salah satu faktor penting di balik konflik internal parpol, termasuk Golkar, era reformasi adalah tidak adanya lagi figur atau tokoh karismatik yang mampu menjadi simbol sekaligus pemersatu partai. Dalam konteks Golkar, misalnya, tidak ada lagi tokoh yang mampu menjadi
Realitas politik seperti inilah yang kini juga dikhawatirkan PDI Perjuangan dan Partai Demokrat. Belum terbayangkan oleh segenap kader, politisi, dan pengurus PDI Perjuangan, apa yang bakal terjadi seandainya Megawati tidak bersedia menjadi ketua umum kembali. Hal yang sama berlaku bagi Demokrat. Tidak terbayangkan oleh jajaran partai segitiga biru ini seandainya mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mundur dari pencalonan ketua umum partai pada kongres mendatang. Apa boleh buat, gambaran semacam itulah yang menjadi realitas partai politik di negeri kita hari ini.
Kekaryaan sebagai "roh"
Selain soal figur
Kedua, menguatnya gejala pemaksaan kehendak secara oligarkis. Fenomena ini amat memprihatinkan karena menyerupai kecenderungan premanisme yang pernah tumbuh subur pada beberapa organisasi pemuda era Orde Baru. Pemaksaan kehendak secara oligarkis tidak hanya dapat disaksikan dari cara setiap kubu mengelola dan menyelenggarakan Musyawarah Nasional di Bali dan Ancol, Jakarta, tetapi juga tampak dalam "premanisasi" bahasa yang digunakan para pihak yang bertikai. Benar-benar memprihatinkan jika perbedaan pendapat dalam pengelolaan partai berujung pada serangan yang bersifat personal.
Ketiga, berlangsungnya personalisasi aspirasi dan kehendak partai. Sebagai wadah agregasi kepentingan rakyat, parpol seperti Golkar seharusnya menjadikan aspirasi dan kehendak publik sebagai arah perjuangan. Namun, dalam realitasnya, partai akhirnya hanya mewadahi aspirasi para petinggi partai dan bahkan acap kali tak lebih dari kehendak ketua umum. Kecenderungan personalisasi aspirasi dan kehendak partai semacam inilah yang akhirnya memicu munculnya konflik internal seperti berlangsung saat ini.
Keempat, para elite Golkar terpasung oleh kepentingan jangka pendek mereka sendiri. Doktrin kekaryaan, yakni segenap kerja yang berorientasi pada program pembangunan sebagai "roh" yang pernah membesarkan Golkar, sudah tidak mendapat tempat lagi dalam perilaku dan perjuangan Golkar. Kini, interaksi, relasi, dan persaingan internal partai beringin lebih berpusat pada perebutan sumber-sumber politik dan ekonomi yang masih tersisa, baik di dalam maupun di luar pemerintahan.
Ironisnya, berbagai faktor yang dikemukakan di atas lebih menjanjikan keruntuhan bagi Golkar ketimbang kejayaan. Oleh karena itu, apabila semangat saling "menghabisi" lebih dominan ketimbang kesediaan yang tulus untuk saling mengalah dalam upaya penyelesaian konflik internal Golkar, Golkar barangkali tidak memiliki masa depan. Seperti dikhawatirkan banyak kalangan, tidak mustahil ujung dari konflik Golkar adalah lahirnya replika baru partai beringin seperti terjadi beberapa waktu sebelumnya.
Sebaliknya, jika ketulusan untuk saling mengalah mewarnai penyelesaian konflik, Golkar masih memiliki peluang dan harapan untuk menjadi besar kembali. Persoalannya kini terpulang kepada para elite politik yang bertikai, apakah benar-benar hendak membesarkan partai atau menguburnya bersama-sama.
SYAMSUDDIN HARIS
PROFESOR RISET LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Di Ambang Keruntuhan Golkar".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar