Menurut UNICEF, anak di bawah umur satu tahun yang memiliki akta kelahiran baru 51 persen di Indonesia. Penyebabnya, antara lain, minimnya sosialisasi pemerintah dan keengganan penduduk mengurus, apalagi ada denda dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bagi mereka yang terlambat mengurus.
Di Kalimantan Timur, Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau, dan lain-lain masih dijumpai peraturan daerah (perda) denda keterlambatan, persyaratan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, dan pungutan biaya pengurusan akta kelahiran yang seharusnya menjadi beban APBN/APBD.
Akibatnya, di ASEAN, Indonesia berperingkat kedua dari bawah, di atas Timor Leste, terkait registrasi di bidang kependudukan terhadap anak-anak di bawah usia lima tahun. Dalam hal ini, Thailand 100 persen, Vietnam 95 persen, Filipina 80 persen, Laos 75 persen, Myanmar 72 persen, Indonesia 66 persen, dan Timor Leste 55 persen.
Akibat tak memiliki akta kelahiran, banyak anak tak dapat mengenyam pendidikan, adopsi ilegal marak, dan terjadi perkawinan di bawah umur. Dampak buruk bagi negara adalah tidak mampu membuat perencanaan pembangunan dengan baik, seperti penyediaan sekolah, pusat kesehatan masyarakat, dan pelayanan sosial lain.
Kekuasaan menerbitkan akta kelahiran saat ini berada di tangan para bupati dan wali kota melalui Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Mereka perlu diingatkan bahwa akta kelahiran adalah hak warga negara, sesuai dengan Pasal 53 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati dan melindungi hak asasi ini.
UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan
Presiden Joko Widodo perlu menginstruksikan kepada Menteri Dalam Negeri segera memberikan akta kelahiran gratis kepada setiap penduduk sebagai bukti kewarganegaraannya. Mendagri juga perlu mencabut perda-perda yang memberatkan setiap orang mengurus dokumen kependudukan.
PRASETYADJI, NUANSA ASRI C4/7, CIPADU, TANGERANG
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi ".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar