Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 27 April 2015

ANALISIS EKONOMI (AHMAD ERANI YUSTIKA): Zona Tabu Kebijakan

Sejarah ekonomi nasional mengenal tiga zona tabu kebijakan: beras, minyak, dan tanah. Maksudnya, ketiga "komoditas" itu mesti dipastikan terjaga secara adil, terjangkau, dan stabil. Beras adalah kebutuhan pangan primer seluruh kelompok masyarakat, khususnya kaum miskin. Minyak memengaruhi sebagian besar struktur produksi dan harga (khususnya pangan), tak hanya di sektor transportasi. Adapun tanah (lahan pertanian/perkebunan) merupakan penanda kepemilikan faktor produksi terpenting bagi sebagian besar rakyat yang bekerja di sektor pertanian. Implikasinya, jika harga beras meroket, minyak melesat, dan tanah petani diserobot (negara ataupun korporasi), rakyat akan bergolak karena kehidupan paling pokok mereka direnggut/diusik sehingga tabu bagi pemerintah membiarkan tiga soal itu tak terurus dengan laik.

Pengambil kebijakan ekonomi mesti paham peta dan implikasi atas seluruh kebijakan yang diproduksi, terutama menyangkut tiga perkara di atas. Sektor pertanian, misalnya, mengalami guncangan hebat sejak 1998 karena pemerintah menggadaikan kedaulatannya dengan meliberalisasi sektor pertanian, baik produksi maupun perdagangan (impor).

Penurunan subsidi produksi dan tarif impor membuat banjir barang dan menekan insentif produksi petani. Produksi komoditas utama, seperti jagung dan kedelai, langsung anjlok. Peran Bulog pun dibabat nyaris habis, dari semula mengurus sembilan komoditas pangan strategis hingga tinggal satu barang, beras. Itu pun masih ditambah dengan orientasi Bulog yang tak hanya menjamin stabilitas pasokan dan harga, tetapi juga mencari keuntungan. Hasilnya, sektor pertanian menjadi teramat ringkih.

Cara pandang yang sama hendak dipakai untuk mengelola kebijakan minyak. Pengurangan subsidi minyak secara besar-besaran tanpa disertai kapasitas pengelolaan yang mapan pada aspek lain (misalnya, mengisolasi transmisi kenaikan harga kepada barang lainnya) telah meluluhkan sendi-sendi ekonomi rakyat. Dengan demikian, sumbu persoalannya bukan sekadar berapa banyak subsidi yang harus dialokasikan, melainkan mesti dilacak juga bagaimana tata laksana produksi dan tata niaga migas, rasio belanja energi rumah tangga terhadap total pengeluaran, dan dampak kenaikan harga minyak terhadap komoditas lain (terutama pangan).

Hal serupa berlaku untuk kepemilikan tanah, yang sampai hari ini belum terbit regulasi yang kokoh demi melindungi penguasaan lahan yang lebih besar kepada petani (gurem), di samping masih berlanjutnya praktik perampasan tanah.

Kasus kenaikan harga beras sejak awal tahun menunjukkan beberapa pelajaran pokok. Pertama, pemerintah tak memeriksa secara rinci dampak keseluruhan rantai kebijakannya sehingga telat mengantisipasi. Semula, pemerintah menaikkan harga minyak, kemudian beras untuk rakyat miskin (raskin) tak dibagikan sepanjang akhir 2014, dan proyeksi panen padi molor.

Tanpa analisis yang rumit, harga beras pasti terkerek (meskipun tak ada spekulan yang berulah). Kedua, Bulog tidak hanya terlambat melakukan operasi, tetapi ternyata juga tak memiliki cadangan yang layak. Pada situasi ini, sepenuhnya harga dikendalikan para pedagang kakap yang mendominasi pasokan. Ketiga, sistem informasi yang canggih tak dimiliki sehingga operasi kurang efektif. Perangkat teknologi yang masif kurang dimanfaatkan untuk menambah daya pemetaan sebaran pasokan beras.

Belajar dari hikmah masalah itu, apa pembenahan yang bisa dilakukan? Perubahan kebijakan pasti menimbulkan riak pada titik tertentu, tak terkecuali kebijakan minyak. Pemerintah patut menelaah ulang kebijakan penentuan harga minyak sesuai perkembangan harga internasional. Kapasitas yang dipunyai pemerintah tak memadai untuk mengisolasi instabilitas harga minyak kepada komoditas lainnya, seperti beras.

Selanjutnya, Bulog harus memegang cadangan beras dalam jumlah besar, paling tidak 3-5 juta ton. Ini membutuhkan dua syarat, yaitu anggaran dan manajemen penyerapan beras (saat panen). Saat ini kita cemas. Ketika panen tiba, kemampuan Bulog menyerap beras belum bagus karena anggaran yang cekak. Oleh karena itu, presisi ketersediaan anggaran dan kapabilitas manajemen Bulog mesti dikendalikan semua pemangku kepentingan.

Bulog harus dikelola layaknya megakorporasi yang beroperasi di setiap jengkal wilayah Indonesia. Keakuratan data produksi, kuantitas yang dibutuhkan setiap wilayah, sebaran produksi, siklus konsumsi mingguan atau bulanan, peta jalur distribusi, struktur dan perilaku distributor (kakap), sinyal harga di pasar (induk), dan lainnya, mutlak dikuasai Bulog. Teknologi informasi yang canggih tak sulit diadopsi, apalagi pemerintah memiliki perusahaan (BUMN) yang bergerak di bidang tersebut.

Selebihnya, pemerintah wajib meletakkan seluruh kapasitas teknokratik dan panggilan moral untuk mengangkat kembali daya hidup sektor pertanian. Pemerintah tidak boleh takluk berhadapan dengan regulasi internasional dan penetrasi korporasi multinasional. Pada saat yang sama, tegas memproduksi kebijakan domestik yang bernas pemihakannya.

AHMAD ERANI YUSTIKA, EKONOM UNIVERSITAS BRAWIJAYA; DIREKTUR EKSEKUTIF INDEF

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 April 2015, di halaman 15 dengan judul "Zona Tabu Kebijakan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger