Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 06 April 2015

ANALISIS EKONOMI: Tanggul Hidup Kaum Miskin ( AHMAD ERANI YUSTIKA)

Bagi kaum miskin, tiang terpenting adalah "waras" dan "beras". Waras (sehat jasmani dan jiwa) adalah modal bagi mereka untuk bekerja saat ini meskipun kadang tak ada kepastian esok hari. Jika sakit dan tak bisa bekerja, status hidup mereka langsung merosot. Jika semula berada dalam kelompok "hampir miskin", akibat sakit mereka masuk gerbong "miskin" atau "sangat miskin".

Demikian pula beras merupakan simbol kecukupan kebutuhan pokok yang paling utama. Sebagian besar konsumsi kelompok miskin dihabiskan untuk pangan, khususnya beras. Jika beras masih tersedia, mereka bisa ngguyu(tertawa), tak peduli situasi politik sedang berisik. Sebaliknya, jika beras sudah tak ada di dapur, dunia terasa gelap. Itulah sebabnya, sejak dulu pemerintah menjaga stabilitas pasokan dan harga beras ketika beras untuk orang miskin (raskin) menjadi bagian dari mata rantainya.

Tanggul hidup warga miskin akhir-akhir ini nyaris jebol karena problem beras tersebut. Tiba-tiba harga beras melejit. Pada saat yang bersamaan, pada akhir 2014, raskin tak lagi dibagikan. Raskin kembali dihidupkan setelah harga beras melonjak. Namun, distribusi raskin dianggap bermasalah, di samping kualitas yang dianggap rendah. Stok raskin di beberapa daerah tak memadai sehingga belum bisa menyentuh seluruh target. Data juga relatif tak ada pembaruan sehingga sulit menjangkau sasaran yang tepat.

Cerita ini masih ditambah lagi dengan mutu raskin yang tak meyakinkan sehingga sebagian tak laik konsumsi, kecuali harus dicampur lebih dulu. Bahkan, sebagian di antaranya harus dijual murah sehingga tujuan raskin tak sepenuhnya tergapai. Sontak, raskin yang diangankan sebagai mata air harapan agak pudar menjadi air mata kepedihan.

Jika dirumuskan dalam matriks persoalan, sengkarut itu bersumbu dari tiga hal, yaitu kebijakan, kelembagaan, dan eksekusi. Kebijakan makroekonomi sejak lama memang makin menjauh dari tujuan stabilitas pasokan dan harga beras (dan komoditas pertanian lainnya). Subsidi pertanian dipangkas, perdagangan internasional dibuat telanjang (dengan tarif yang amat rendah), dan badan penjaga stabilitas pangan (Bulog) disunat peranannya.

Rincian masalah tentu lebih rumit daripada ketiga hal itu. Namun, secara umum, sumber instabilitas mengalir dari sana. Jalan keluarnya jelas, yaitu kebijakan makroekonomi mesti dikembalikan ke jalurnya semula, yakni menggerakkan sektor pertanian dengan aneka insentif agar produksi meningkat, sinyal ekspor-impor terkelola dengan baik, dan badan penyangga punya daya dengan tenaga penuh.

Pada aras yang kedua, problem kelembagaan kasatmata. Namun, sebagian besar berakar dari absennya kelembagaan untuk meregulasi pasar, menstabilisasi pasar, dan melegitimasi pasar (Rodrik dan Subramanian, 2003). Faktor "pasar" ditekankan karena Indonesia mengelola ekonomi dengan arah dominasi mekanisme pasar yang kian besar. Dalam kasus regulasi pasar, masalah yang menonjol adalah ketiadaan ikhtiar mengatasi oligopoli perdagangan dan asimetris informasi. Problem klise ini tak digarap sehingga pasokan dan harga dikontrol pihak yang menguasai pasar.

Berikutnya, instrumen yang dipakai pemerintah untuk mengendalikan inflasi makin terbatas, khususnya setelah harga BBM sebangun dengan harga pasar. Sementara itu, pranata legitimasi pasar amat tak memadai akibat kebijakan redistribusi dan perlindungan sosial yang minim.

Pada level eksekusi tingkat keberhasilannya dipengaruhi dua hal pokok, yaitu kelengkapan kebijakan (dan kelembagaan) dan sumber daya (juga pengetahuan). Kebijakan dan kelembagaan jelas tak memberikan ruang eksekusi bisa dijalankan dengan baik karena tak ditopang formasi lingkungan yang mendukung. Celakanya, sumber daya (anggaran, birokrasi, dan pengetahuan) juga tak sigap dikelola dan dikoordinasi. Fleksibilitas Bulog terkendala anggaran (juga regulasi), birokrasi bekerja dengan inisiatif yang tak optimal, dan stok pengetahuan (dalam wujud data pasokan dan warga yang berhak menerima) tak sepadan dengan volume masalah. Deskripsi ini sebetulnya sudah memberikan panduan, pada titik mana persoalan itu menyembul dan dengan kebijakan (kelembagaan) apa mesti diformulasikan pemecahannya.

Selebihnya, tak boleh dilupakan, kerentanan pangan dan perlindungan kelompok miskin terjadi berbarengan dengan pudarnya nilai-nilai (informal) dan lembaga lokal. Modernisasi ekonomi yang menyulap lalu lintas transaksi dengan panduan "profit" telah meluluhlantakkan kelekatan sosial yang menjadi instrumen redistribusi ekonomi yang tangguh di zaman dulu. Tradisi "jimpitan" dan lumbung beras, misalnya, yang pada masa silam menjadi instrumen proteksi kaum miskin dari kekurangan pangan (beras) telah musnah, digantikan pranata formal yang diinisiasi pemerintah. Organisasi ekonomi yang berwatak kerakyatan, seperti koperasi, digempur mesin korporasi yang mengabdi kepada laba. Jadi, urusan pangan, beras, dan raskin bukan sekadar perkara teknis pasokan dan cara membagi, melainkan juga kesetiaan pada garis (ekonomi) konstitusi.

AHMAD ERANI YUSTIKA
EKONOM UNIVERSITAS BRAWIJAYA, DIREKTUR EKSEKUTIF INDEF

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 April 2015, di halaman 15 dengan judul "Tanggul Hidup Kaum Miskin".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger