Menolak mengakui hasil puncak suatu kongres partai tidak lain dari menolak
Pertama, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sampai saat menjelang kongres adalah partai yang sangat berhasil mempertahankan tradisi tua kepartaian nasional dalam arti suatu "partai total", dalam pengertian suatu partai yang siap di dalam dirinya menjalankan suatu metode kerja dan perlengkapan kelembagaan dalam rangka
Kedua, Golkar menyelenggarakan kongres setelah mengalami frustrasi politik besar-besaran dalam Pemilihan Umum 2014 dalam dua dimensi penting. Sebagai pemenang nomor dua, Golkar sama sekali tidak mampu mencalonkan salah seorang anggotanya, termasuk ketua umumnya sendiri, untuk bertarung sebagai calon presiden. Ini untuk pertama kalinya sejak sistem politik bangsa ini masuk ke dalam sistem persaingan, termasuk persaingan "semu" sepanjang masaOrde Baru.
Dimensi penting lainnya adalah ketika Golkar sendiri tidak mampu juga menjadi pemimpin koalisi,
Politik menuju kongres PDI-P Bali
Sebentar lagi,9 April, akan ada kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Bali, "partai tua" ketiga yang dalam urutan di atas menjalankan kongres. PDI-P berbeda dalam arti ia tidak mengalami frustrasi seperti Golkar karena menjadi pemenang pemilihan umum—meski kemenangan tersebut tidak menjadi cukup alasan untuk menikmati euforia bermewah-mewah seperti ditunjukkan pada masapenyusunan kabinet dan sesudahnya.
Kemampuan mengusung calon presiden dan memenangi pemilihan kepresidenan menjadi alasan lain untuk membedakan dirinya dari dua partai tua di atas. Namun, kemenangan pemilihan kepresidenan pun tidak memberikan alasan untuk merayakan euforia bermewah-mewah. Dua kemenangan berlangsung tanpa euforia karena ketiadaan
Euforigenik pada pemilihan umum baru ditemukan kalau kemenangan mayoritas bisa dicapai. Dalam empat kali pemilu nasional setelah kejatuhan Orde Baru, tidak pernah satu partai pun mencapai mayoritas mutlak. Karena itu, meski memenangi Pemilihan Umum 2014, PDI-P dengan susah payah mencari dan menemukan koalisi efektif meskipun Partai Nasional Demokrat (Nasdem) tanpa ragu-ragu menjadi peserta pertama dan utama. Dengan latar belakang seperti itulah PDI-P akan menjalankan kongres di Bali.
Meski demikian, kongres Bali 2015 berlangsung dalam suasana kemenangan. Di sisi lain, kemenangan tanpa euforia diam-diam mengangkat soal-soal pelik yang berada di balik semuanya, seperti soal kepresidenan—sejauh mana seorang presiden dari suatu partai, PDI-P, menjadi "utusan" dan "petugas" partai; kapan kesetiaan kepada partai berhenti dan kesetiaan kepada bangsa dimulai. Soal pencalonan Kepala Polri yang didukung penuh oleh partai dan ujungnya adalah suatu fiasko: calon partai, menjadi calon tunggal Presiden, diterima pleno DPR, kemudian ditolak oleh Presiden sendiri sebagai pengusung calon tunggal. Tidak pernah terjadi kontradiksi politik kepresidenan sebesar itu dalam kepresidenan siapa pun pada masa lalu.
Semuanya dibuat semakin pelik lagi, yaituseolah-olah menjadi "teka-teki" apakah pencalonan tunggal adalah servis atau jerat,
Kontradiksi demi kontradiksi berlangsung tumpuk-menumpuk tanpa pemecahan, sekurang-kurangnya sampai tulisan ini dibuat.
Kongres PDI-P dan ketua umum partai
Pemilihan ketua umum adalah
Partai dalam tradisi bangsa ini selalu berambisi menjadi suatu
Untuk kepentingan itu mari kita berguru kepada Niccolo Machiavelli, 1469-1527, seorang pendasar politologi, ilmu politik, sesungguhnya, yang melepaskan dirinya dari agama dan studi-studi agama, teologi, sebagai dasar analisis politik. Dalam hubungan dengan kekuasaan, Machiavelli mengatakan bahwa sudah banyak yang memberi nasihat macam-macam, tetapi dia tidak akan mengikuti pendapat-pendapat itu: "Rasanya lebih bijaksana bagi saya mengikuti
Ada dua hal di sini yang mau dikatakannya yang dibahas penulis dalam urutan terbalik. Pertama, adalah
Kedua, kenyataan utama yang sebenarnya adalah dalam bahasa Italia disebut
Dalam hubungan itu, kebenaran efektif dalam kehidupan kepartaian adalah menampilkan tokoh dan ketokohan yang terutama menjadi hitungan; baru sesudah itu muncul modal dan ideologi. Ketika kita berbicara tentang ketua partai, kita berbicara tentang ketokohan, penguasa partai, dan bukan yang lain.
Ada tiga hal dasar, katanya, yang memungkinkan seorang penguasa berkuasa. Ini seolah-olah menjadi tritunggal Machiavellian, yaitu
Virtu,
Necessita
Dalam hubungan dengan kongres PDI-P, hampir tidak ada berita tentang calon ketua umum yang bocor ke publik, selain konsensus bahwa Megawati Soekarnoputri sudah ditawarkan menjadi ketua umum dalam rakernas PDI-P terakhir. Salah satu yang bocor ke media sosial adalah bahwa Joko Widodo akan menjadi pesaing keras Megawati Soekarnoputri dengan dukungan sejumlah pemodal.
Tentang Jokowibisa dikatakan bahwa mungkin ada
Fortuna
DANIEL DHAKIDAE
PEMIMPIN UMUM DAN PEMIMPIN REDAKSI JURNAL "PRISMA"
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Kongres PDI-P dan Kekuasaan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar