Dalam pada itu, pers Indonesia relatif bebas dan tidak mengalami kekangan atau hambatan politik sebagaimana yang dapat dilihat pada beberapa negara tetangga. Kebebasan berpendapat dan berkumpul dijamin, sementara pemerintahan sepenuhnya berada di tangan sipil tanpa direcoki intervensi militer. Ada beberapa aksi teroris yang muncul secara sporadis di sana-sini, tetapi keamanan umum tetap terjaga dan stabilitas politik tidak terganggu. Secara rata-rata pendapat pengamat dan analis asing lebih optimistis dibandingkan dengan opini dan kritik pengamat dalam negeri yang setiap saat mempertanyakan pelaksanaan demokrasi.
Inkonsistensi politik
Salah satu pertanyaan yang perlu mendapat perhatian ialah hubungan di antara partai-partai politik dan perkembangan demokrasi. Semua kita tahu bahwa dalam demokrasi tak langsung yang diterapkan di hampir semua negara modern, termasuk Indonesia, partai politik jadi pilar utama dan terpenting bagi terlaksananya demokrasi perwakilan. Rakyat tak dapat memerintah secara langsung seperti di Athena pada abad ke-5 sebelum Masehi. Untuk memungkinkan terlaksananya pemerintahan, rakyat harus memercayakan hak-hak politiknya kepada para wakilnya di DPR, sementara para wakil rakyat ini direkrut melalui partai-partai politik yang ada dan memenuhi syarat untuk dipilih.
Di sini muncul pertanyaan yang memperlihatkan suatu inkonsistensi politik. Kalau benar pendapat para pengamat asing bahwa demokrasi Indonesia mengalami perkembangan positif, mengapa gerangan partai-partai politik yang menjadi pendukung utama demokrasi tidak bisa dikatakan berada dalam perkembangan yang positif juga? Mengapa demokrasi dalam sistem politik Indonesia tidak diimbangi hidupnya internal demokrasi dalam kalangan partai politik? Mengapa stabilitas politik dalam demokrasi Indonesia tidak diimbangi dengan stabilitas politik dalam partai politik yang cenderung mengalami perpecahan ke dalam (
Diskrepansi ini selayaknya jadi perhatian partai-partai politik dalam kaitan dengan peran mereka sebagai pilar utama demokrasi tak langsung. Kita berhadapan dengan kemungkinan munculnya dua pertanyaan. Pertama, bagaimana menjelaskan demokrasi Indonesia dapat stabil, sementara partai-partai politik yang jadi soko gurunya tidak memperlihatkan stabilitas politik dalam dirinya? Dari mana integrasi politik nasional diperoleh, sementara partai-partai politik selalu diancam disintegrasi politik? Mengapa kebebasan memilih dapat terjamin dan terlaksana dengan baik dalam politik nasional, sementara kebebasan memilih dalam partai-partai politik relatif terkekang?
Kedua, jangan-jangan kita harus mengubah pendapat bahwa partai politik yang
Dalam kilas balik asumsi ini dapat diuji dengan dua pengalaman politik. Pertama, dengan adanya Dekrit Presiden pada Juli 1959, hampir semua kekuasaan politik jadi terpusat pada diri Presiden Soekarno yang melansir sistem Demokrasi Terpimpin setelah Konstituante dibubarkan dan UUD 1945 diberlakukan kembali. Trias Politika praktis dibekukan karena Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi beranggapan: tata negara dengan pembagian kekuasaan ke dalam eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak sesuai dengan tujuan revolusi yang menghendaki perubahan cepat dengan cara "menjebol dan membangun" (
Keadaan jadi tambah panas dan meruncing karena PKI dapat membonceng kekuasaan Soekarno dan menimbulkan kekhawatiran terhadap dominasi politik kiri yang akhirnya mengancam demokrasi. Kecemasan ini muncul terutama di kalangan kelompok agama, khususnya Islam, dan menimbulkan rasa waswas di kalangan militer. Dengan meletusnya Peristiwa 30 September 1965, mulai terjadi kristalisasi politik antara pro-demokrasi dan pro-Demokrasi Terpimpin. Presiden Soekarno dengan berbagai cara mengalami
Faktor obyektif lain yang mendorong jatuhnya Soekarno ialah kebangkrutan ekonomi dengan inflasi yang melampaui 600 persen. Dengan situasi yang demikian, Orde Baru praktis dibangun oleh tiga kekuatan utama: mahasiswa yang tak bisa lagi menerima politik yang semakin otokratis; militer yang menjadi kekuatan yang melumpuhkan politik kiri PKI; dan para teknokrat yang harus memulihkan ekonomi yang amat merosot. Dalam perubahan politik ini, sukar mencatat peranan berarti partai-partai politik dalam mendorong perubahan politik ke arah yang lebih demokratis.
Kedua, reformasi politik 1998 menghentikan politik yang otoriter dari Presiden Soeharto. Ketidakpuasan umum saat itu merupakan akumulasi dari akibat beberapa praktik politik. Dari segi ideologis, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat mengenai ideologi negara semakin hari makin terkekang karena adanya keharusan mengikuti interpretasi tunggal versi rezim Soeharto tentang Pancasila. Interpretasi tunggal ini disosialisasikan dengan biaya negara yang tidak kecil melalui kursus Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) pada berbagai tingkat dalam birokrasi pemerintahan, serta bahkan menjadi prasyarat bagi kenaikan pangkat dalam jenjang birokrasi.
Dari segi pemerintahan, makin meluas rasa cemas bahwa kesempatan melaksanakan pemerintahan sipil yang diamanatkan oleh sistem demokrasi punya prospek suram karena meluasnya intervensi militer dalam pemerintahan melalui dwifungsi ABRI. Di satu pihak kalangan TNI tetap hidup dengan keyakinan bahwa mereka bertumbuh bukan sebagai tentara profesional, melainkan sebagai tentara pejuang yang bertempur bersama rakyat, hidup bersama rakyat dan bahkan dilindungi oleh rakyat dalam perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Di pihak lain kalangan terpelajar, khususnya para mahasiswa, sangat sadar militer adalah alat negara sehingga suatu pemerintahan dengan banyak intervensi militer pada dasarnya bukanlah
Penyederhanaan partai jelas memudahkan kontrol oleh pemerintah. Bersama Golkar yang dianggap bukan partai politik, melainkan merupakan Golongan Karya, tetapi mempunyai semua hak partai politik, rezim Presiden Soeharto hanya perlu mengawasi dua partai politik, sambil mendesakkan kemenangan Golkar dalam tiap pemilu. Pegawai negeri diharuskan menjadi anggota Golkar dengan alasan monoloyalitas, sementara suara untuk Golkar dari tiap institusi pemerintah dan lembaga negara diawasi secara ketat. Lembaga pengawasan resmi seperti DPR dibuat tak berdaya di bawah kontrol eksekutif. Pers diawasi dengan ketat dan tiap telepon dari pejabat ke redaksi koran/majalah berita jadi alarm bahwa penerbitan koran dan majalah itu dapat berakhir dengan ditariknya surat izin usaha penerbitan pers oleh Kementerian Penerangan.
Semua ini menyebabnya meluasnya proses delegitimasi kekuasaan Presiden Soeharto, yang mencapai titik nadirnya pada Mei 1998. Pada 13 Mei 1998, rakyat meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri. Pada 18 Mei 1998, mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR dan Ketua DPR/MPR Harmoko membuat pernyataan agar Presiden mengundurkan diri. Dalam pada itu sejumlah menteri kabinet mulai mengambil jarak dari Soeharto. Akhirnya, di luar dugaan banyak orang, Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 pagi menyatakan mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada BJ Habibie. Dengan itu dimulailah reformasi politik di Indonesia, sebagai perubahan besar dalam politik di Indonesia setelah peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru 32 tahun sebelumnya.
Sibuk dengan hal-hal kecil
Dalam dua perubahan politik yang besar ini, sulit sekali kita dapat mencatat apa peran partai politik dalam mendorong perubahan, dibandingkan dengan peran para mahasiswa misalnya. Lebih tepat untuk mengatakan bahwa partai politik adalah pihak yang menikmati perubahan politik yang digerakkan oleh kekuatan sosial lainnya. Mengapa demikian?
Kalau diperhatikan agak cermat, ada dua kecenderungan yang semakin meluas dalam praktik politik kita dan tecermin juga dalam perilaku partai politik. Pertama, kesibukan dengan diri sendiri cenderung lebih tinggi intensitasnya daripada kemampuan membuka diri untuk dikonfrontasikan dengan pengalaman-pengalaman dari luar. Sikap
Hal yang sama dapat dikatakan tentang partai politik. Adakah pelajaran yang dapat mereka peroleh dari kontak dan interaksi dengan partai di negara lain? Misalnya tentang keuangan dan pembiayaan partai politik, tentang
Hal kedua: trivialisme, yaitu kecenderungan untuk sibuk dengan hal-hal kecil yang kurang penting karena ketiadaan perspektif untuk melihat dan terlibat dalam suatu
Semua ini memerlukan reorientasi besar dan determinasi yang kuat dan bukan sesuatu yang
IGNAS KLEDEN, SOSIOLOG; KETUA BADAN PENGURUS KOMUNITAS INDONESIA UNTUK DEMOKRASI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Demokrasi dan Partai Politik".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar