Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 09 April 2015

Isu Nuklir Iran (DIAN WIRENGJURIT)

Kesepakatan atas Framework Agreement-mengenai program nuklir Iran-yang dicapai dalam perundingan antara Iran dan P5+1 di Lausanne, Swiss, 2 April lalu, memang layak disebut sebagai milestone.

Keberhasilan ini dinilai sebagai sukses Bladder Diplomacy, terminologi yang dicetuskan mantan Menlu AS James Baker untuk menggambarkan kemampuan Presiden Suriah Hafez al-Assad berunding berjam-jam tanpa jeda bahkan untuk ke toilet sekalipun. Bahkan, ada yang menyamakan itu dengan perundingan nonstop 8 hari antara Menlu AS John Kerry dan Menlu Iran Javad Zarif, seperti Versailles Peace Conference 1919.

Optimisme pun merebak di barbagai bagian dunia. Tak mengherankan jika Presiden Barack Obama menyatakan kesepakatan ini akan memotong setiap langkah Iran mengembangkan senjata nuklir dan membentuk sistem pengawasan yang paling intrusif dalam sejarah.

Selanjutnya Menlu Zarif menyambutnya sebagai langkah tegas setelah lebih dari satu dasawarsa bekerja keras.  Diberitakan, rakyat Iran menyambut kesepakatan ini dengan menari- nari dan membunyikan klakson sepanjang malam.

Optimisme di atas memang beralasan karena kesepakatan kerangka kerja itu menyangkut isu pokok, yaitu program nuklir Iran. Di antaranya, infrastruktur untuk pengayaan uranium dikurangi dua per tiga; stockpile-nya dikurangi 98 persen dalam 15 tahun; reaktor air berat diubah hingga hanya dapat memproduksi sejumlah kecil plutonium; instalasi Fordo dijadikan pusat penelitian medis dan ilmiah; serta mengizinkan IAEA melakukan inspeksi selama 20 tahun. Optimisme juga dirasakan oleh masyarakat dunia yang khawatir akan terjadinya konfrontasi nuklir, bahkan Perang Dunia.

Akan tetapi, dari sudut pandang lain, optimisme ini mungkin dapat dikatakan masih prematur dengan beberapa alasan.

Melihat hutan

Pertama, masyarakat umum hanya melihat hutan dan bukan pohon. Hutan selalu indah dari jauh atau dari atas. Di dalam hutan masalah sebenarnya baru akan terlihat: sulitnya menembus kepekatan pepohonan, menyeberangi rawa-rawa, dan menghadapi binatang buas.

Kedua, kesepakatan baru berupaframework/outline. Seperti kerangka tubuh, menyatukan struktur tulang dengan daging dan otot, serta saraf-sarafnya  dan apalagi bagian-bagian dalamnya jelas sangat kompleks. Bahkan, menurut perunding AS, isu pembentukan mekanisme penyelesaian konflik sama sekali belum dibahas secara detail.

Ketiga, kesepakatan ini hanya menyangkut aspek nuklir yang dikehendaki pihak Barat dan belum aspek lain yang dikehendaki Iran. Bahkan, untuk  aspek nuklir masih harus disepakati bahasa yang jelas, tegas, dan detail.

Keempat, kesepakatan justru belum mencantumkan secara jelas masalah sanksi, yang justru menjadi prioritas Iran. Sejak lama  sanksi dan nuklir menjadi isu "ayam dan telur": mana dulu?

Dalam framework itu hanya dinyatakan bahwa sanksi akan dicabut apabila Iran mematuhi komitmennya dan akan diberlakukan kembali kalau melanggar. Selama ini kompromi tahap demi tahap dalam isu nuklir dan sanksi dinilai belum efektif oleh kedua pihak.

Kelima, dan ini yang terpenting, adanya posisi dasar  yang masih menjadi pegangan kedua belah pihak. Presiden George Bush-menggunakan terminologi yang dipakai pada masa Perang Dunia II terhadap Jerman, Italia, dan Jepang-menyebut Iran sebagai bagian dari axis of evil bersama Irak dan Korea Utara.

Saat ini, terminologi ini masih tetap kuat di kalangan Partai Republik yang menguasai Kongres dan Senat, serta kelompok the Hawks, utamanya di kalangan militer. Sementara di Iran, ajaran Ayatollah Khomeini bahwa AS adalah Great Satan dan slogan "Marg bar Amrika!" (Death to America Death) masih melekat di masyarakat, mullah,  dan menjadi doktrin bagi Garda Revolusi. Hingga kini ajaran Khomeini masih kerap didengungkan di masjid-mesjid saat shalat Jumat.

Masih parsial

Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa kesepakatan Lausanne masih awal dan parsial. Kesepakatan ini belum membahas semua isu yang disengketakan dan hanya merupakan pendahuluan dari suatu kesepakatan yang komprehensif dan detail, yang akan dirampungkan bulan Juni mendatang. Baik Presiden Obama maupun Presiden Rohani sama-sama akan menghadapi tantangan yang berat dan kompleks dari kelompok garis keras di negeri masing-masing.

Senator Mark Kirk, misalnya, pengusul sanksi baru terhadap Iran, mengatakan bahwa "Former British Prime Minister Neville Chamberlain 'got a better deal from Adolf Hitler' at Munich".

Kalau dikatakan bahwa kesepakatan ini disambut dengan sukacita di Iran, hal ini perlu disertai catatan. Pertama, sambutan ini sebenarnya tidak terlalu besar. Di Teheran hanya terpusat di salah satu jalan utama dan hanya berlangsung beberapa jam. Di sebagian besar Teheran suasana tetap tenang.

Kedua, mereka yang merayakan umumnya generasi kedua dan ketiga pasca Revolusi pada 1979. Saat Revolusi generasi kedua masih kanak-kanak, sementara generasi Ketiga sama sekali tidak mengalami. Ketiga, kesepakatan masih dibayangi isu penahanan jurnalis AS (Jason Rezaian) sejak Juli 2014.

Harus diakui bahwa proses tercapainya kesepakatan Lausanne merupakan proses diplomatik maraton terpanjang dalam sejarah modern, tetapi jalan masih panjang. Masih banyak isu yang belum dibahas, konsesi yang belum diberikan dan pertanyaan yang belum terjawab. Apalagi pihak AS menegaskan bahwa kalaupun kesepakatan ini tercapai, tetap tidak akan mengubah sikap terhadap Iran dalam isu-isu lain, seperti terorisme, hak asasi manusia, dan peluru kendali. Karena itu, slogan "Down with America" tampaknya masih berlanjut. 

DIAN WIRENGJURITDUTA BESAR RI UNTUK REPUBLIK ISLAM IRAN; PANDANGAN PRIBADI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Isu Nuklir Iran".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger