Pengesahan dan pemberlakuan UU Pencegahan Terorisme itu berlangsung hanya berselang beberapa jam setelah penangkapan 17 simpatisan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Selasa (7/4) pagi.
Ke-17 orang itu disebutkan berencana menculik tokoh penting negara itu dan juga akan melancarkan sejumlah aksi teror lain. Mereka juga berencana merampok bank guna mendanai aksi teror mereka, dan menyerang kantor polisi dan instalasi militer untuk menguasai senjata dan amunisi. Kepala Kepolisian Malaysia Khalid Abu Bakar mengemukakan, salah seorang pelaku, pria berusia 49 tahun, diketahui pernah menjalani pelatihan militer di Afganistan (tahun 1989) dan di Indonesia (2000).
Setelah perdebatan panjang selama 15 jam, akhirnya UU Anti Terorisme baru itu lolos melalui proses pemungutan suara (voting). Sebanyak 79 suara mendukung dan 60 suara menolak. Namun, begitu disahkan, UU baru itu langsung menuai protes dari berbagai kalangan, khususnya aktivis pejuang hak asasi manusia.
Bahwa terorisme harus diperangi dengan sekuat tenaga dan sepenuh hati, tidak ada yang menentangnya. Bahwa UU Anti Terorisme itu diperlukan, juga tidak ada yang keberatan. Yang ditentang oleh banyak kalangan adalah adanya pasal di dalam UU Anti Terorisme yang menetapkan, aparat keamanan dimungkinkan untuk menangkap siapa saja yang dicurigai tanpa perlu melalui proses peradilan. Selain itu, terduga teroris dapat ditangkap dan dipenjara selama dua tahun dan kemudian dapat diperpanjang berkali-kali.
Jika UU yang memuat pasal itu disahkan, lalu apa bedanya dengan Akta Keamanan Internal (ISA), warisan pemerintah kolonial Inggris, yang dihapus Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pada tahun 2012? Dengan alasan demi keamanan nasional, ISA memungkinkan aparat keamanan memenjarakan siapa saja tanpa melalui proses peradilan.
Jika UU itu diberlakukan, dikhawatirkan, atau lebih tepat diyakini, akan disalahgunakan oleh pemerintah untuk membungkam lawan politiknya. Apalagi praktik itu lazim dilakukan di Malaysia. Itu sebabnya, berbagai kalangan meminta UU itu dibatalkan.
Untuk menjawab kekhawatiran itu, Pemerintah Malaysia berjanji UU baru itu tidak akan disalahgunakan. Akan tetapi, siapa yang percaya pada janji pemerintah. Kita berharap Pemerintah Malaysia dapat menyelesaikan masalah itu dengan baik. Namun, memang, pemberian kekuasaan kepada aparat keamanan untuk menangkap atau memenjarakan orang tanpa proses pengadilan itu, atas alasan apa pun, sulit diterima.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 April 2015, di halaman 6 dengan judul "UU Terorisme Malaysia Diprotes".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar