Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 14 April 2015

Menemukan Arah Perubahan (MEUTHIA GANIE-ROCHMAN)

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mengajukan konsep Nawacita sebagai sasaran untuk dicapai bangsa ini.
JITET

Nawacita barulah daftar keadaan yang ingin dicapai, belum menjadi kerangka kebijakan untuk membawa perubahan sosial ekonomi menuju kesejahteraan.  Sayangnya, hingga saat ini belum terlihat kerangka untuk mewujudkan Nawacita itu.

Jika melihat Rencana Pembangunan Jangan Menengah (RPJM) yang sudah disahkan, tampaklah daftar program prioritas. Namun, di balik daftar itu, muncul pertanyaan soal pertimbangan apa yang ada di balik persentase dan apa yang disebut "tahap-tahap".  Seperti skema perubahan mana pun, harus ada rasional kondisi struktural yang ingin diubah dan jadi perubahan kelembagaan macam apa.

Teknokratik dan politik

Kepemimpinan suatu pemerintahan membutuhkan kecakapan dalam dua hal yang tak terpisahkan, yaitu teknokratik dan politik. Tekanan wacana di wilayah publik (di antaranya pejabat, politisi, aktivis, dan media massa) terlalu banyak mengedepankan aspek politik. Tentu politik penting, tetapi orang sering lupa bahwa kemampuan teknokratik adalah syarat pokok berlangsungnya perubahan.

Ketepatan teknokratik bisa memperbesar dukungan politik, bahkan manajemen politik bisa dikelola secara teknokratik.

Indonesia sejak reformasi telah jauh mengabaikan aspek teknokratik dan pengetahuan untuk memimpin perubahan, dengan pengecualian program good governance yang didorong organisasi asing. Arah kebijakan terlalu banyak dipimpin oleh isu populer seperti penanganan kemiskinan, membantu ekonomi kerakyatan, dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Tanpa arahan kerangka pengetahuan, tidak akan ada pembangunan yang berkualitas dan berkelanjutan, bahkan bisa mengancam demokrasi.

Suatu perubahan harus dipikirkan secara sistematis dan proses adopsinya harus dengan dukungan kelembagaan dan politik yang kuat. Sebagai contoh, Thailand memutuskan jadi negara berbasis agroindustri di bawah kepemimpinan raja selama berpuluh tahun dengan alokasi sumber daya riset dan pengembangan yang tidak kecil. Kepemimpinan politik diperlukan untuk fokus, komitmen dan alokasi material. Riset bukan hanya tentang pengetahuan, juga bagaimana mentransformasi kelembagaan.

Alokasi dana riset

Indonesia tercatat sebagai negara di Asia Tenggara yang paling rendah dalam alokasi dana riset. Perbandingan dana riset pada beberapa negara terhadap PDB adalah Indonesia 0,07 persen, Malaysia 0,63 persen, Singapura 2,2 persen, Jepang 3,3 persen (Sumber: LPDP Depkeu).  Belakangan ini memang tersedia dana-dana riset untuk disalurkan ke universitas. Namun, rekaman Indonesia untuk karya ilmiah tetap kecil bahkan dibandingkan dengan Malaysia.

Banyak persoalan mengapa riset tidak mengenai sasaran pembangunan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang telah menetapkan riset-riset yang dianggap strategis, tetapi berapa banyak riset yang cukup baik menjawab  persoalan bangsa. Kedua, bagaimana koneksi riset dengan penerapan dan perubahan kelembagaan, terutama lembaga publik.

Sebagai contoh, apakah kebijakan membantu ekonomi kerakyatan didasarkan pada riset-riset sistematis untuk menjawab persoalan kelembagaan ekonomi? Apakah penganan kemiskinan diletakkan pada riset pembangunan regional terkait politik otonomi daerah?

Riset harus berdampingan dengan skema manajemen pengetahuan (MP). Pada 2007, Asian Productivity Organization yang berbasis di Jepang mengeluarkan  laporan sembilan negara: seberapa jauh dan bagaimana arah mereka  menerapkan manajemen pengetahuan. Pada periode tersebut, Indonesia tidak termasuk yang memiliki program nasional manajemen pengetahuan, berbeda dengan Malaysia, Thailand, India, Singapura, dan Korea. Di Indonesia, aspek manajemen pengetahuan hanya menjadi perhatian bisnis dan akademisi.

Baru pada 2011, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengeluarkan pedoman pelaksanaan manajemen pengetahuan untuk kementerian dan lembaga pemerintah. Mengingat minornya dukungan politik, wewenang, pengaruh dan kapasitas organisasi kementerian, bisa dibayangkan kecilnya dorongan pelaksanaan MP di lembaga pemerintah.

Bagaimana MP dipahami selama ini oleh pemerintah dan apakah memadai untuk konteks perubahan di Indonesia? MP adalah pengaturan kumpulan pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu dalam organisasi/lembaga dan manfaatnya dalam meningkatkan efektivitas organisasi.

Konteks MP

Namun, MP harus diartikan melampaui aspek ini jika ingin menjadi infrastruktur kognitif pembangunan bangsa. Caranya dengan meletakkan konteks MP di tengah persoalan spesifik bangsa serta tujuan yang ingin dicapai. Manajemen pengetahuan harus dapat menghasilkan pengetahuan baru.

Singapura, misalnya, menggunakan MP untuk tujuan mendorong inovasi, terutama di bidang pengobatan. India menggunakan MP dalam rangka pengembangan industri teknologi informasi. Di Korea, selain juan inovasi dan pengembangan industri, MP digunakan untuk akuntabilitas pemerintahan. Di Taiwan MP untuk pengembangan industri kecil dan menengah.

Di Indonesia, para pengambil kebijakan belum menampilkan kerangka penggunaan MP yang jelas. Di RPJM, MP hanya ditemukan seakan bagian kecil dari beberapa program tertentu. Sungguh negara demokrasi yang tidak dapat memahami kegunaan pengetahuan!

Riset dan kebijakan

Untuk mengubah keadaan, beberapa langkah penting ini harus dilakukan. Pertama, buat persambungan yang kuat antara riset sistematis dan kebijakan publik. Perlu adanya forum untuk menentukan arah, mutu, dan tujuan riset. Riset harus dapat memecahkan persoalan negara paling penting, termasuk transformasi lembaga pelaksananya.

Di setiap kementerian strategis harus ada forum semacam ini dengan tugas, kompetensi, dan integrasi yang jelas dengan kementerian yang relevan, serta tidak boleh dilakukan secara sambilan.

 Kedua, pengiriman mahasiswa ke luar harus disesuaikan dengan kebutuhan persoalan yang ingin dipecahkan. Jika pengiriman cukup banyak ke suatu negara atau suatu universitas, lembaga yang mengirim harus dapat berunding dengan penyelenggara pendidikan agar sesuai dengan kebutuhan Indonesia.

Salah satu fungsi atase pendidikan adalah membantu proses ini. Sebagai contoh, saat ini hampir tidak ada lulusan yang mengambil keahlian sosiologi pengelolaan sumber daya, padahal pengetahuan ini sangat penting.

Ketiga, jangka menengah, negara harus memperkuat beberapa perguruan tinggi  (PT) nasional dan tiap wilayah. Memperkuat PT itu bukan persoalan menambah beasiswa, melainkan membuat PT mampu kontekstual. Riset dan pengajaran harus dikontrol mutu dan arahnya dengan cara demokratis.

Tentu harus dipikirkan bahwa gaji dosen di PT saat ini tidak masuk akal untuk hidup tenang, apalagi jika diletakkan pada pemikiran, mereka harus fokus menghasilkan inovasi dan pencerahan generasi muda.  Indonesia bisa membandingkan dengan tingkat kelayakan bagi pengajar dan fasilitas untuk PT di Malaysia bagi tenaga pendidik (bukan dalam arti nominal).

MEUTHIA GANIEROCHMAN

Sosiolog Organisasi; Mengajar di Universitas Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Menemukan Arah Perubahan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger