Tema ini penting di tengah tercerabutnya identitas keislaman Indonesia yang menggiring sebagian Muslim menempuh lajur radikalisme.
Di kalangan
"Kita ambil nilai Islam, kita saring budaya Arab-nya", demikian Gus Dur menandaskan.
Islam Indonesia
Dari sini lahirlah istilah Islam Indonesia. Maksudnya tentu saja jelas: Islam yang berbudaya Indonesia. Dalam praktik diskursifnya, Islam Indonesia ditempatkan dalam konteks keindonesiaan modern, yang bernegara-bangsa, berpancasila, dan demokratis. Ini digunakan oleh
Hal itu melahirkan reaksi berupa post-tradisionalisme Islam (postra). Gagasan ini sederhana, menandai perbedaan titik pijak antara Gus Dur dan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Bagi postra, pijakan Gus Dur ialah tradisi. Sementara Cak Nur, modernitas Eropa. Maka, gerakan pemikiran NU mengalami arus balik, dari liberalisme menuju tradisi.
Pertarungan pemikiran di atas tentu terhenti pada level paradigmatis. Sebab, baik kubu liberal maupun postra tidak benar merumuskan epistemologi dan metodologi. Semuanya hanya "dentuman besar" layaknya balon, yang ketika meledak, ia hancur dan kosong!
Dalam kondisi inilah Islam Nusantara menjadi perkembangan terkini geliat pemikiran NU. Ia lebih baik karena beberapa alasan. Pertama, menempatkan pribumisasi Islam sebagai metodologi. Jika pada masa Gus Dur pribumisasi murni dikonsumsi, pada era kini, ia menjadi metodologi bagi perumusan Islam Nusantara.
Ini memungkinkan karena Gus Dur menekankan hal itu, di mana pribumisasi Islam merupakan proses perwujudan nilai-nilai Islam melalui (bentuk) budaya lokal. Ini dilakukan baik melalui kaidah fikih (
Kedua, mempraksiskan pemikiran ke ranah ketekunan riset. Ini dibutuhkan karena Islam Nusantara merupakan kajian historis, antropologis, dan arkeologis. Dalam wilayah ini, tugas NU masih luas, terutama merumuskan "status ontologis" Islam Nusantara yang berbeda dengan Islam lain. Sejauh ini kemajuan telah terjadi dengan ditelitinya "corak budaya" dan "mekanisme kultural" Islam Nusantara, terutama era Wali Songo.
Ketiga, memperjelas akar tradisi, dari pesantren (di dalamnya terdapat tradisi Sunni) kepada Islam Nusantara. Hal ini penting mengingat selama ini, NU hanya dipijakkan pada pesantren. Sementara pesantren adalah hasil dari gelombang ketiga islamisasi Nusantara setelah fase tasawuf dan syariatisasi. Keberpijakan hanya pada pesantren, mengalpakan "lambaran kultural Islam" yang merahimi lembaga pendidikan tradisional tersebut.
Beberapa langkah
Di muktamar nanti, yang perlu dilakukan demi pengembangan Islam Nusantara, tidak hanya sebagai bidang kajian, tetapi juga gerakan pemikiran, ialah, pertama, pencapaian konsensus atas pendasaran NU terhadap Islam Nusantara. Ini dilakukan melalui pencarian jawab terhadap keraguan atasnya. Misalnya, atas kesenian Islam produk Nusantara; bagaimana sikap NU mengingat masih terdapat pandangan "kiai fikih" yang mengharamkan bentuk seni seperti wayang.
Kedua, perumusan budaya Nusantara secara distingtif. Persoalannya, di dalam studi budaya telah terjadi pergeseran dari
Keindonesiaan terkini
Ketiga, penempatan Islam Nusantara dalam konteks keindonesiaan terkini. Ini urgen mengingat tradisi merupakan mekanisme pengaturan masa depan melalui masa lalu (Giddens, 2009:137).
Dalam konteks itu, muktamar perlu merumuskan "kesinambungan teoritik" antara Islam Nusantara dan Islam Indonesia. Sebab, keduanya tak akan ada tanpa yang lain. Artinya, Islam kultural yang dibentuk oleh corak Islam Nusantara merupakan
Tanpa ketiga hal di atas, pemikiran Islam Nusantara akan bernasib sama dengan geliat pemikiran NU terdahulu. Sebab, hanya keketatan metodologi dan korespondensi dengan realitas empiriklah yang membuat suatu gagasan kenyal dan teruji. Selamat bermuktamar!
SYAIFUL ARIF
Dosen Pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 April 2015, di halaman 7 dengan judul "NU dan Islam Nusantara".
saya dulu NU Sekarang tidak Lagi karena NU Sekarang sudah berpaham LIBERAL,dan hampir Rata-rata JIL banyak dari NU
BalasHapus